Opini  

Pengamat Sebut Negara Tidak Pernah Memberikan Sanksi Atas Tindakan Represif Kepolisian

JAKARTA, cinews.id – Pengamat kepolisian Bambang Rukminto mengatakan, negara tidak pernah memberikan sanksi kepada Korps Bhayangkara atas tindakan represif anggotanya saat mengamankan demo tolak pengesahan revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada beberapa waktu lalu.

“Negara juga tak pernah meminta pertanggungjawaban pada institusi Polri soal kekerasan yang dilakukannya. Tak ada mekanisme sanksi oleh negara bagi institusi Polri cq (dalam hal ini) Kapolri,” kata Bambang saat dikonfirmasi, Kamis (29/8/2024)

Meski dalam penanganan aksi terjadi penggunaan kekuasan yang berlebihan berupa kekerasan, tapi nyaris tak ada upaya evaluasi. Apalagi, sanksi bagi personel pelaku kekerasan.

“Negara tak pernah memberikan sanksi terhadap institusi Polri meski telah melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang melakukan demonstrasi,” ungkap dia.

Bambang menekankan penegakan aturan di internal Polri itu penting. Sebab, bila pelanggaran dibiarkan tanpa ada sanksi yang berarti, peraturan hanya akan menjadi doktrin tanpa arti.

Bambang menjelaskan ada banyak peraturan Polri yang mengatur soal prosedur pengamanan aksi. Di antaranya Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

“Peraturan-peraturan tersebut tentunya untuk membatasi dan menjadi koridor personel di lapangan. Tetapi, implementasi di lapangan tentunya tak mudah. Meskipun itu juga tak bisa dijadikan alat permakluman bagi tindak kekerasan yang ofensif dilakukan oleh aparat kepolisian,” ujar peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu.

Bambang mengatakan semangat pengamanan aksi unjuk rasa harusnya dilandasi semangat untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat yang sedang menyampaikan suaranya. Artinya sebagai aparat negara, kata Bambang, tugas kepolisian adalah melayani dan menjaga mereka dalam menyampaikan aspirasinya dari oknum yang berperilaku anarkis, merusak, maupun mengganggu jalannya aksi.

“Bukan melihat masyarakat yang sedang melakukan aksi sebagai kelompok yang harus dihadapi, tetapi dilayani,” ujar dia.

Bila melihat fenomena yang terjadi, Bambang menyebut pola pikir melayani masyarakat oleh kepolisian itu masih belum ada. Melindungi dan mengayomi masyarakat juga semakin menjauh, malah terganti dengan melindungi dan mengayomi kepentingan, baik penguasa atau pemberi manfaat pragmatis.

“Di sisi lain, upaya untuk menegakkan peraturan juga nyaris tak ada. Dampaknya kekerasan oleh oknum polisi dianggap hal yang lumrah, wajar oleh institusi meskipun itu tentu tak bisa dibenarkan,” ujar dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights