Indonesia Harus Waspada, China Bantu Bangun Pangkalan Militer Ream di Kamboja

BALAM, cinews.id – Selama dua tahun belakangan setelah China secara terbuka membeberkan kucuran dana, pembangunan Pangkalan Militer Ream di Kamboja berkembang pesat. Hal itu sebagaimana terlihat dalam investigasi visual terhadap citra satelit.

Pemerintah Kamboja menghancurkan bangunan lama di sebelah Utara pangkalan militer Ream Kamboja.

Pakar menilai Indonesia perlu waspada karena keberadaan China di Pangkalan Militer Ream dapat mengancam stabilitas keamanan.

Sejak upacara peletakan batu pertama pada Juni 2022 oleh Duta Besar China untuk Kamboja, Wang Wentian, area seluas 76 hektare tersebut kini sudah dipenuhi oleh setidaknya 14 bangunan besar, jalan, satu dermaga, dan lahan reklamasi.

Pembangunan ini menyisakan 8% dari total keseluruhan area tertutup hijau seperti pohon atau rumput turun lebih dari setengah dibandingkan dua tahun lalu.

Selain itu, citra satelit yang diperoleh dari BlackSky, perusahaan intelijen berbasis luar angkasa, menunjukkan dua kapal perang China jenis Jiangdao berlabuh di dermaga itu sejak Desember 2023 hingga Juni 2024, atau lebih lama dari yang dilaporkan Center for Strategic and International Studies (CSIS) sebelumnya.

Kapal tempur China jenis Jiangdau terlihat di pangkalan militer Ream di Kamboja.

Menteri Pertahanan Nasional Kamboja, Tea Seiha, dalam sebuah unggahan di Facebook menjelaskan kapal tersebut datang untuk menyiapkan latihan militer bersama antara China dan Kamboja.

Padahal, latihan militer “Golden Dragon” yang digelar dua kali yakni pada Desember 2023 dan Mei 2024 sudah rampung.

Namun hingga artikel ini terbit, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri China terkait hal tersebut.

Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja pun tidak pernah membuat pernyataan resmi terkait apakah Ream menjadi pangkalan militer China.

Keberadaan aktivitas China itu pun memicu kemarahan sejumlah negara termasuk Amerika Serikat (AS) yang merasa dikhianati karena satu bangunan hasil pendanaan AS di pangkalan tersebut dihancurkan oleh pemerintah Kamboja secara diam-diam.

“Pangkalan Ream ini belum menjadi pangkalan China [secara resmi] dan [aktivitas] dilakukan secara diam-diam, beda dengan [pangkalan militer China] di Djibouti, Afrika. Indonesia perlu melakukan kontak bilateral dengan China soal ini untuk menjaga stabilitas kawasan supaya tidak ada catastrophic failure [bencana dahsyat],” kata Ahmad Umar, Analisis Politik Asia Tenggara sekaligus Dosen Tidak Tetap Universitas Queensland, Australia dalam keterangannya beberapa waktu lalu dikutip dari BBC, Kamis (15/2024).

Berlokasi di Kamboja barat daya, Pangkalan Militer Ream berjarak sekitar 800 km dari Kepulauan Natuna, Riau. Kepulauan ini merupakan salah satu area terluar dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan garda terdepan dalam sengketa Laut China Selatan.

Pangkalan Ream juga berada di lokasi yang strategis, yakni di pintu masuk Teluk Thailand dan bersebelahan dengan pelabuhan laut dalam Silhanoukville dan dekat dengan pembangunan megaproyek kanal terbesar, Funan Techno.

Pangkalan ini juga tak jauh dari Selat Malaka, jalur strategis yang menghubungkan dua kawasan perdagangan internasional.

Direktur Program Asia Tenggara CSIS, Gregory B Poling, menyebutkan akses China di Pangkalan Ream merupakan investasi yang menguntungkan.

“Sistem radar di pangkalan Ream dapat membantu Tentara Rakyat China untuk beroperasi di sekitar Selat Malaka dan kawasan Indo-Pasifik,” kata Poling dalam Pernyataan resminya.

Terlebih, jika konflik terjadi, pangkalan ini dapat menjadi basis untuk penyuplai bahan bakar, amunisi dan pasukan.

China terlibat dalam pembangunan pangkalan
Pembangunan pangkalan militer yang sangat pesat selama dua tahun belakangan diakui oleh pakar tak luput dari campur tangan China, baik dana maupun pekerja.

“Model bangunan seperti ini [pangkalan di Ream] mengingatkan saya dengan pangkalan militer China di Djibouti dan di Kepulauan Spratly. Sangat mungkin kalau China membangun [pangkalan] ini karena pemerintah Kamboja tidak memiliki kapasitas dan sumber daya untuk mengonstruksi pangkalan secepat ini,” ujar Thomas H. Shugart III, pensiunan Angkatan Laut AS dan peneliti senior Center for a New American Security dilansir Aljazeera.

Meski demikian, Thomas beranggapan bahwa analisisnya perlu diverifikasi kepada pemerintah China karena memerlukan bukti yang lain untuk menunjukkan keterlibatan China lebih dalam.

Dalam kesempatan yang lain, kedua negara telah menentang klaim keterlibatan dan akses eksklusif militer China di Kamboja.

Duta Besar China untuk Kamboja, Wang Wentian, dalam pidato peletakan batu pertama pada 2022 silam mengatakan, bahwa negaranya akan mematuhi hukum Internasional.

“China patuh pada aturan hukum dalam negeri Kamboja dan China, serta hukum dan praktik internasional yang terkait, dan tidak menyasar pihak ketiga mana pun.”kata Wang.

“Tentara China akan terus membantu pasukan Kamboja dalam rangka menguatkan kerja sama militer dua negara serta membawa kerja sama tersebut ke babak dan perkembangan baru.”imbuhnya.

Selaras dengan Wentian, mantan Perdana Menteri Hun Sen dan anaknya yang menjadi penerus takhta, Hun Manet, secara konsisten menjelaskan kepada media lokal bahwa mereka tidak memberikan akses eksklusif kepada China di pangkalan tersebut.

Merujuk Konstitusi Kamboja pasal 53, negara Kamboja melarang pembangunan pangkalan militer negara asing. Pasal selanjutnya menjelaskan bahwa seluruh kesepakatan atau perjanjian apa pun harus patuh pada kemerdekaan, kedaulatan, integritas wilayah, netralitas dan persatuan Kamboja.

Akan tetapi, kenyataan di lapangan sungguh berbeda.

Jika kita menengok ke lima area, maka akan tampak perubahan yang drastis di Pangkalan Ream selama dua tahun belakangan.

Di sebelah timur, hanya dalam waktu enam bulan sejak Juni 2022 hingga Desember 2022, mereka telah membersihkan lahan sekitar sembilan hektare. Setahun kemudian, empat blok bangunan telah berdiri.

Menurut Thomas, dua bangunan di sebelah kiri terlihat seperti gedung administrasi dan dua gedung di tengah mirip dengan barak. Sementara itu, dua gedung lainnya yang baru berdiri pada April 2024 tampak seperti gudang penyimpanan kendaraan atau garasi.

Di area yang sama, tampak empat tabung yang mirip dengan tangki bahan bakar.

Tabung ini baru dibuat sejak Agustus 2023 hingga 2023, kemudian diwarnai biru pada akhir April 2024.

Di area tengah ke arah barat pangkalan, mereka mulai membangun dermaga dengan panjang sekitar 300 meter sejak Maret 2023 hingga Oktober 2023. Dua bulan kemudian, dua kapal tempur China tampak berlabuh.

Sejak Juni 2022 hingga Desember 2022, pembersihan lahan di sebelah utara dilakukan. Setahun kemudian, empat gedung telah berdiri.

Pada Februari 2024 setelah area timur laut dibersihkan, empat bangunan lainnya bermunculan.

Antara Februari 2024 hingga Juni 2024, bangunan yang berjejer di bibir pantai mulai dihancurkan dan tengah dikosongkan. Belum diketahui hingga saat ini terkait peruntukan area tersebut.

Pada Oktober 2023, mereka mulai membersihkan lahan di sebelah selatan dan tak lama kemudian, pengerukan lahan reklamasi mulai dilakukan.

Setahun kemudian, tampak beton-beton tersusun rapi di sebelahnya. Terlihat pula beberapa tongkang lalu lalang di area ini.

“Bisa jadi tongkang itu membawa material bangunan,” kata Thomas H. Shugart III, pensiunan Angkatan Laut AS dan peneliti senior Center for a New American Security kepada CNN Internasional beberapa waktu lalu.

Pada Juni 2024, lahan reklamasi ini mulai tampak membentuk area U seperti dermaga.

Di bagian tenggara, sebanyak enam bangunan telah disusun di atas lahan yang telah dibersihkan. Sejumlah jalan juga telah dibangun.

“Apa yang telah dibangun ini menunjukkan kemiripan dengan nota kesepakatan (MoU) yang dibocorkan ke pers pada 2019. Sepertiga area dari pangkalan Ream akan digunakan untuk angkatan laut Kamboja, dengan bantuan infrastruktur dan pekerja dari China, sementara dua pertiga lainnya akan diberikan secara eksklusif ke China,” kata Direktur Program Asia Tenggara CSIS, Gregory B Poling.

“Yang mereka inginkan adalah agar kita fokus pada bagian selatan saja yang sepertiga itu tadi dan mengabaikan yang dua pertiga lainnya di sebelah utara karena itu masih disimpan untuk akses ekslusif China suatu saat.”

Tentara China menetap sementara di pangkalan
Keberadaan kapal perang China di pangkalan Ream yang tertangkap melalui citra satelit selama berbulan-bulan menuai kontroversi. Poling menjelaskan kepada Nikkei Asia sebelumnya bahwa ada kemungkinan pasukan militer China yang menetap sementara.

Pasalnya, ia berpendapat bahwa biasanya pasukan yang dikirimkan untuk latihan militer tak akan terus-menerus menetap selama berbulan-bulan di lokasi latihan.

Latihan militer kedua negara rampung pada akhir Mei 2024. Namun, tangkapan satelit pada 12 Juni 2024 menunjukkan kapal tersebut masih ada.

Analis intelijen militer yang tidak mau disebutkan namanya menjelaskan jenis dua kapal tersebut yakni Jiangdao dengan panjang sekitar 90 meter dan lebar maksimal yakni 11.14 meter.

Kapal yang terlihat pada Juni 2024 adalah kapal yang sama terlihat di citra satelit selama tujuh bulan belakangan.

Kapal ini berlabuh sejak 1 Desember 2023, atau dua hari lebih awal dari yang dilaporkan oleh Radio Free Asia.

Selama lima bulan, sejak Desember 2023 hingga Mei 2024, kapal ini hanya pergi meninggalkan dermaga selama tiga hari di waktu yang berbeda dan selalu bepergian berpasangan.

“Tidak pernah ada satu waktu kalau kapal ini hanya bepergian sendiri. Jadi mereka selalu berdua. Pergi dan berlabuh pun berdua,” katanya.

Sebelumnya pada 2020, Hun Sen kepada Khmer Times menjelaskan bahwa pemerintah Kamboja mengizinkan kapal dari mana pun untuk berlabuh di Ream.

“Kami menerima kapal dari semua negara, termasuk AS, Prancis, Kanada, India, Inggirs, Jepang, Australia, tidak hanya China. Klaim bahwa Kamboja memberikan akses eksklusif kepada China selam 50 hingga 90 tahun itu tak berdasar,” kata Hun Sen.

Meski demikian, pada Februari 2024, Khmer Times juga melaporkan bahwa dua kapal perusak Pasukan Bela Diri Maritim Jepang berlabuh di Pelabuhan Sihanoukville alih-alih Ream selama dua hari.

Mengapa Indonesia harus waspada?
Eksistensi China di Ream memberikan akses bagi militer China untuk menyadap berbagai informasi di kawasan melalui radar dan satelit komunikasi, menurut Alexander L Vuving, peneliti dari the Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, Kementerian Pertahanan AS.

Situasi ini, klaimnya, makin menguntungkan China mengingat militer China juga memiliki sistem radar di Kepulauan Spratly.

Alhasil, China punya senjata dari dua sisi: barat di Ream dan timur di Kepulauan Spratly.

“Dengan akses ini, China dapat mengontrol dan menguasai kawasan Asia Tenggara,” kata Vuving.

“Ini baru radar saja, belum lagi jika China menguasai pangkalan yang bisa menjadi tempat peluncuran kapal atau kendaraan lainnya untuk mengontrol udara, laut, dan area terdekat. Ini juga kemungkinan yang bisa didapat China,” sambungnya.

Selama ini China telah mempraktikkan strategi “zona abu-abu” atau grey zone tactics di kawasan Asia Tenggarastrategi yang mengedepankan kepentingan tanpa harus menggunakan pasukan bersenjata atau militer, strategi ini berada di tengah-tengah antara perang dan perdamaian.

“Konflik Laut China Selatan itu bukan kepentingan China. Jika konflik di situ terjadi, ada kemungkinan AS akan turut andil memihak kubu Filipina. Di situ lah kemudian menjadi persoalan rumit bagi China,” imbuhnya.

Sebelumnya pada 2020, Hun Sen kepada Khmer Times menjelaskan bahwa pemerintah Kamboja mengizinkan kapal dari mana pun untuk berlabuh di Ream.

“Kami menerima kapal dari semua negara, termasuk AS, Prancis, Kanada, India, Inggirs, Jepang, Australia, tidak hanya China. Klaim bahwa Kamboja memberikan akses eksklusif kepada China selam 50 hingga 90 tahun itu tak berdasar,” kata Hun Sen.

Meski demikian, pada Februari 2024, Khmer Times juga melaporkan bahwa dua kapal perusak Pasukan Bela Diri Maritim Jepang berlabuh di Pelabuhan Sihanoukville alih-alih Ream selama dua hari.

Mengapa Indonesia harus waspada?

Eksistensi China di Ream memberikan akses bagi militer China untuk menyadap berbagai informasi di kawasan melalui radar dan satelit komunikasi, menurut Alexander L Vuving, peneliti dari the Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, Kementerian Pertahanan AS.

Situasi ini, klaimnya, makin menguntungkan China mengingat militer China juga memiliki sistem radar di Kepulauan Spratly.

Alhasil, China punya senjata dari dua sisi: barat di Ream dan timur di Kepulauan Spratly.

“Dengan akses ini, China dapat mengontrol dan menguasai kawasan Asia Tenggara,” kata Vuving.

“Ini baru radar saja, belum lagi jika China menguasai pangkalan yang bisa menjadi tempat peluncuran kapal atau kendaraan lainnya untuk mengontrol udara, laut, dan area terdekat. Ini juga kemungkinan yang bisa didapat China,” sambungnya.

Selama ini China telah mempraktikkan strategi “zona abu-abu” atau grey zone tactics di kawasan Asia Tenggarastrategi yang mengedepankan kepentingan tanpa harus menggunakan pasukan bersenjata atau militer, strategi ini berada di tengah-tengah antara perang dan perdamaian.

“Konflik Laut China Selatan itu bukan kepentingan China. Jika konflik di situ terjadi, ada kemungkinan AS akan turut andil memihak kubu Filipina. Di situ lah kemudian menjadi persoalan rumit bagi China,” imbuhnya.

Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh : M.Ibnu Ferry

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights