Hukum  

Dalam Sidang Kasus Timah 300 Triliun, Saksi Sebut Jokowi Ingin Penambang Ilegal Jadi Legal

JAKARTA, cinews.id – Dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah Rp 300 triliun yang di gelar pada, Rabu (11/9/2034), Jaksa menghadirkan mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk untuk wilayah Bangka Belitung Ali Samsuri sebagai saksi.

Ali bersaksi untuk Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021, Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, serta MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.

Dalam kesaksiannya Ali menyebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta PT Timah mengakomodasi masyarakat yang menjadi penambang ilegal.
Mulanya, Ali mengaku masih bekerja di PT Timah pada 2018 saat program izin usaha jasa pertambangan (IUJP) berjalan.

“Dalam pelaksanaan IUJP Saudara tadi kan mulai 2015 ya, ini sampai tahun berapa?” tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2024).

“2018,” jawab Ali.

“Saudara menjabat 2018?” tanya jaksa

“Iya,” jawab Ali.

“Ketika Saudara menjabat masih berjalan program IUJP?” tanya jaksa.

“Iya program itu masih,” jawab Ali.

Jaksa kemudian bertanya apakah Ali pernah mendengar pemilik IUJP juga bertindak sebagai pengepul bijih timah atau tidak. Ali mengaku tak pernah mendengar hal tersebut.

“Saudara saksi di lapangan pernah mendengar nggak? Ada informasi bahwa pemilik IUJP ini pada pelaksanaan itu bertindak sebagai pengepul atau kolektor dari penambang-penambang ilegal, pernah mendengar informasi tidak itu?” tanya jaksa.

“Kalau menjadi pengepul penambang ilegal saya tidak dapat kabar, tapi yang kalau saya sampaikan tadi, misalnya di sekitaran tambang masyarakat yang bermitra secara resmi tadi, misalnya ada penambang masyarakat yang tidak berizin ini yang kita minta untuk ini bisa dibina, misalnya sama-sama masih dalam IUP, itu saja,” jawab Ali.

Jaksa kembali bertanya terkait penjualan bijih timah dari masyarakat penambang ilegal melalui pemilik IUJP. Ali mengatakan saat itu Presiden Jokowi meminta PT Timah mengakomodasi masyarakat yang menjadi penambang ilegal.

“Artinya kan yang tadi tambang-tambang ilegal itu berarti menggunakan perusahaan pemilik IUJP itu ketika menjual bijih timahnya ke, itu Saudara tidak praktik seperti itu, terhadap mitra-mitra seperti itu ya?” tanya jaksa.

“Tidak semua. Karena kita waktu itu kan diperintahkan, waktu apa ya, ada kunjungan Presiden RI ke Babel, Yang Mulia, terus banyak yang mengeluhkan masalah tambang ilegal dan statement beliau adalah, ‘Ya itu semua masyarakat saya, minta tolong bagaimana caranya yang ilegal ini menjadi legal.’ Jadi ya itulah waktu itu bagaimana masyarakat yang ada di sekitar-sekitar tambang yang ada IUP (izin usaha pertambangan) SPK (surat perintah kerja) kita itu yang dibina biar mereka tidak dikejar-dikejar oleh aparat, itu Yang Mulia. Dan produksinya dikirim melalui mitra yang…,” jawab Ali.

Ali mengatakan PT Timah melakukan pembinaan ke masyarakat yang menjadi penambang ilegal agar tak dikejar oleh aparat keamanan sebagai tindak lanjut perintah tersebut. Dia mengatakan masyarakat penambang ilegal menambang menggunakan mesin kecil.

“Itu masyarakat-masyarakat itu punya basic penambang juga, yang Saudara tahu?” tanya jaksa.

“Itu yang sifatnya nomaden, masyarakat umum yang mereka menambang pakai mesin kecil,” jawab Ali.

Sementara itu, mitra IUJP menambang menggunakan alat berat seperti ekskavator dan buldoser. Ali mengatakan penambangan yang dilakukan mitra IUJP tak hanya pada lokasi bekas tambang melainkan juga di lokasi baru.

“Kalau mitra-mitra IUJP ini ketika melakukan penambangan skala penambangannya seperti apa?” tanya jaksa.

“Kalau yang IUJP mereka rata-rata sudah menggunakan alat berat,” jawab Ali.

“Dia membuat kubangan baru atau mengikis bekas tambang PT Timah saja?” tanya jaksa.

“Ada yang lokasi baru ada yang..,” jawab Ali.

“Jadi tidak semua hanya menggunakan bekas penambangan timah? tapi ada menggunakan lokasi baru?” timpal jaksa memotong jawaban Ali.

“Lokasi baru, iya,” sahut Ali.

Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

“Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024,” ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024).

Kerugian negara yang ungkap jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. Lalu, jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.


Eksplorasi konten lain dari Cinews.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *