BABEL, cinews.id – Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) Joko Supriyono sebut, Banyaknya campur tangan dalam Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi sebab program itu berjalan lambat. Regulasi yang dilahirkan menjadi tak sejalan dengan tujuan program tersebut dan menimbulkan kendala dalam implementasi di lapangan.
“Ini urusannya banyak kementerian. Jadi hambatannya itu di banyak kementerian. Jadi perlu diperbaiki regulasi, prosedur. Jadi itu kenapa PSR lambat, karena kita masih terus perbaiki prosedur regulasi,” ujarnya dalam taklimat media bertajuk Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung dikutip, Kamis (29/8/2024)
Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja program PSR melambat. Data BPDPKS menunjukkan realisasi program PSR dari awal tahun hingga Juli 2024 baru mencapai 18.484 hektare (Ha) dengan dana yang tersalur Rp544 miliar untuk 22 provinsi. Itu sangat jauh dari target tahun ini yang mencapai 120 ribu Ha.
Alokasi dana untuk PSR juga direncanakan ditambah dari Rp30 juta per Ha menjadi Rp60 juta per Ha mulai 1 September 2024. Namun Joko ragu penambahan dana itu akan berpengaruh signifikan pada perbaikan implementasi PSR jika permasalahan regulasi masih belum dibenahi.
“Tahun ini dinaikkan jadi Rp60 juta. Namun, dengan Rp60 juta ini kalau nanti regulasi belum mendukung, mungkin juga tidak akan signifikan,” kata Joko.
Hal senada diamini Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono. Dia menilai regulasi yang ada saat ini untuk program PSR belum sepenuhnya mendukung.
“Jadi itu bukan salah PBDPKS. Sekarang ini kementerian dan lembaga yang terlibat dalam sawit itu ada lebih dari 30. Kalau tidak salah sekarang 37. Jadi kebijakan ini justru saling tumpang tindih yang terjadi. Yang paling banyak masalah di plasma (kemitraan),” terangnya.
Menurut Eddy, perbaikan regulasi menjadi penting. Sebab, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar. Peremajaan perlu dipercepat untuk bisa mendongkrak produksi komoditas tersebut. Apalagi Indonesia juga menjadi konsumen kelapa sawit terbesar.
Jika perbaikan tak segera dilakukan, dikhawatirkan industri kelapa sawit dalam negeri tak bisa memenuhi kebutuhan domestik.
“Jangan sampai nanti terulang sejarah kita pernah menjadi eksportir terbesar kedua di dunia gula. Sekarang kita menjadi importir yang sangat besar,” tutur Eddy.
“Kita sekarang konsumen minyak sawit terbesar di dunia walaupun kita juga produsen minyak sawit terbesar di dunia. Kalau ini tidak segera dibenahi, bisa terjadi sejarah akan berulang,” tambah dia.
Dalam beberapa waktu terakhir, terjadi penurunan produktivitas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di dalam negeri. Produktivitas CPO tercatat 3,26 metrik ton per ha per tahun di 2019, kemudian menurun menjadi sebesar 2,87 metrik ton per ha per tahun pada 2023. Sedangkan produktivitas CPO dari perkebunan sawit rakyat lebih rendah lagi, yakni 2,58 metrik ton per ha per tahun pada 2023.
Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana sekaligus Plt. Direktur Kemitraan BPDPKS Kabul Wijayanto mengatakan, BPDPKS terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas melalui pelaksanaan program PSR.
Sejak 2016 hingga Juli 2024, kata dia, realisasi PSR baru mencapai 345 ribu Ha. Adapun pemerintah menargetkan PSR dapat mencapai 180 ribu ha per tahunnya.
“Program peremajaan dan program sarana dan prasarana merupakan bagian yang dikontribusikan BPDPKS untuk meningkatkan produktivitas, yang menjadi isu tantangan utama saat ini,” jelas Kabul.
Eksplorasi konten lain dari Cinews.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.