Komnas HAM Mendesak Perintah Segera Mengesahkan RUU PPRT Menjadi Undang-Undang

JAKARTA, cinews.id – Sebagai sebuah keseriusan pemerintah untuk melindungi Pekerja Rumah Tangga (PRT), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi sebuah Undang-Undang (UU).

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah dalam konferensi pers di Jakarta pada pada Jumat (19/7/2024) mengatakan, pengesahan RUU PPRT tak hanya melindungi pekerja rumah tangga domestik namun juga nantinya akan berimplikasi baik untuk kepentingan perlindungan tenaga kerja wanita (TKW) atau pekerja domestik migran di luar negeri.

“Ketika RUU PPRT disahkan, ini akan menjadi bargaining pemerintah Indonesia dalam mendorong perlindungan WNI pekerja rumah tangga yang tersebar di berbagai belahan dunia, terutama mereka yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga migran. Di mana banyak negara mengalami situasi pelanggaran HAM karena ketiadaan hukum nasional perlindungan PRT di banyak negara penempatan,” ujar Anis dalam keterangan yang diterima cinews.id, Sabtu (20/7/2024).

Anis menjelaskan bahwa pengesahan RUU PPRT juga dapat menjadi kekuatan diplomasi bagi pemerintah Indonesia dengan negara lain guna melindungi WNI pekerja migran di luar negeri jika terjadi kasus pelanggaran HAM yang menimpa mereka.

“Kami mendorong proses pembahasan yang partisipatif sebagai bagian dari prinsip-prinsip timbal balik dalam konteks hubungan dengan negara lain atau dalam konteks diplomasi Indonesia dengan negara lain. Saat ini, hanya Filipina negara di ASEAN yang memiliki regulasi atau undang-undang terkait dengan perlindungan PRT,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Anis mengatakan bahwa dalam konteks percepatan RUU PPRT, Komnas HAM memberikan atensi dan perhatian khusus bagi PRT yang merupakan bagian dari kelompok rentan dan marginal dan memiliki potensi menjadi korban kekerasan.

“Selama ini Komnas HAM juga banyak sekali menerima pengaduan terkait dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berkaitan dengan PRT, salah satunya adalah kasus-kasus di mana PRT tidak mendapatkan gaji, mereka hilang kontak dari keluarganya selama bekerja, mengalami kekerasan perdagangan orang, dan mengalami kekerasan seksual,” jelasnya.

Lebih lanjut, Anis menjelaskan pada beberapa tahun sebelumnya pada tahun 2021, Komnas HAM melakukan upaya kajian dan penelitian terkait dengan pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga dan urgensi pengesahan RUU PPRT.

“Berdasarkan kajian yang kami lakukan pada tahun 2021 berkesimpulan bahwa untuk mendorong kondisi hak asasi yang kondusif bagi penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT, dibutuhkan adanya satu regulasi untuk melindungi dalam bentuk undang-undang,” ungkapnya.

Menurut Anis, kehadiran sebuah undang-undang PPRT akan memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja itu sendiri. Selain itu, undang-undang juga akan mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi dan pelecehan terhadap PRT.

“Termasuk juga mengatur dan memberikan kepastian terkait dengan hubungan kerja yang saling menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. UU PPRT juga meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesejahteraan PRT,” imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND) Fatimah Asri Mutmainnah mengungkapkan kehadiran RUU PPRT sangat dinantikan oleh sekitar 10 juta pekerja rumah tangga di Indonesia sebagai dasar perlindungan diri, dikatakan bahwa PRT sering terpapar kekerasan dan eksploitasi yang tak jarang berimplikasi pada kondisi disabilitas baik fisik maupun mental.

“Kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga menghasilkan kedisabilitasan dan ini harus menjadi perhatian kita semua. Meskipun belum ada jumlah pasti, tapi dari beberapa kasus yang terkuat, bisa menjadi indikator kuat ada banyak PRT yang mengalami disabilitas akibat kekerasan dan eksploitasi. Oleh hal itu, KND berharap kehadiran RUU ini untuk segera disahkan,” katanya.

Fatimah juga mendorong DPR RI agar menutup periode masa akhir jabatan sebagai momentum yang baik untuk menciptakan perlindungan optimal dan komprehensif terhadap seluruh pekerja rumah tangga termasuk para pekerja migran yang rentan menjadi korban perdagangan.

“Perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah, maka kami meminta agar DPR pada masa sidang terakhir periode 2019-2024 ini segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT termasuk membuka ruang dialog kepada masyarakat sipil untuk terlibat aktif dalam memberikan masukan agar berpihak pada rakyat khususnya pada pekerja rumah tangga,” katanya.

Menurut data Migrant CARE selama 2022-2023 telah ditemukan ratusan orang muda di bawah 30 tahun yang terjebak dalam modus baru modern slavery seperti perdagangan orang dan online scamming di luar negeri.

Sementar, itu, perwakilan Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) di Malaysia, Bariyah Iyah mencatat ada ratusan kasus pelanggaran yang dialami pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia di luar negeri pada tahun 2022.

“Bentuk pelanggaran yang dialami PRT migran Indonesia beragam, mulai dari mendapatkan kekerasan fisik sebanyak 3,9 persen, korban perdagangan manusia 5,9 persen, pelecehan seksual 7,8 persen, eksploitasi 31,4 persen, hingga gaji yang tidak dibayar mencapai 45,1 persen,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights