Oleh : M.Ibnu Ferry
BALAM, cinews.id – Masih banyak celah korupsi di lingkungan pendidikan dari pungutan liar, nepotisme dan pengadaan barang fiktif hingga penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dari sekian banyaknya kasus korupsi, korupsi di sektor pendidikan masuk dalam lima besar korupsi di Indonesia berdasarkan sektor. Adapun sektor lainnya sektor anggaran desa, pemerintahan, transportasi, dan perbankan.
Dan dari tahun ke tahun, fenomena korupsi di sektor pendidikan begitu meresahkan, seperti tak ada hentinya, ibarat mati satu tumbuh seribu. Mereka yang terlibat korupsi baru seperti tak pernah belajar dengan kasus-kasus sebelumnya, justru tak malu-malu melakukan perbuatan curang itu.
Dari data yang dihimpun cinews.id pada Rabu (10/7/2024) ditemukan, Sepanjang Januari 2016 hingga September 2021 tercatat sebanyak 240 korupsi pendidikan yang ditindak aparat penegak hukum. Ada pun kerugian negara yang ditimbulkan Rp 1,6 triliun.
Data tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan masih menjadi ladang korupsi, Bahkan di tengah pandemi Covid-19 korupsi pada sektor pendidikan tak berhenti.
Dan mirisnya, mayoritas para tersangka korupsi di sektor pendidikan ialah pegawai negeri sipil (PNS) dinas pendidikan (Disdik), petugas pengadaan, kepala/wakil kepala sekolah (Kepsek/Wakepsek), pegawai instansi lain, kepala disdik (Kadisdik) dan terdapat pula kepala daerah dan anggota DPR/DPRD yang juga terlibat dalam kasus korupsi sektor pendidikan.
Pada 2022 lalu, muncul kasus korupsi menghebohkan dari Universitas Lampung. Dimana diberitakan bahwa calon mahasiswa jalur mandiri yang ingin diterima di kampus tersebut harus membayar Rp100 juta hingga Rp350 juta.
Kasus itu turut melibatkan mantan Rektor Unila Prof Karomani. Pada Mei 2023, ia divonis 10 tahun penjara karena terbukti terlibat suap-menyuap.
Dalam kasus itu Karomani tidak sendirian. Mantan Wakil Rektor 1 Unila Heryandi dan mantan Ketua Senat Unila M Basri juga diganjar hukuman penjara 4,5 tahun penjara.
Kejadian tersebut semakin membuktikan bahwa korupsi di lingkup pendidikan benar-benar meresahkan, bukan saja dilakukan oleh staf instansi, tapi oleh guru, kepala sekolah, hingga rektor.
Menurut data ditemukan sekitar 86 persen koruptor yang ditangkap KPK adalah lulusan perguruan tinggi, bahkan sebagian besar koruptor yang ditangkap telah mendapatkan gelar master, Mereka yang harusnya menjaga muruah pendidikan karakter atau antikorupsi, justru melakukan korupsi.
Dapat dipastikan kasus ini hanya mungkin terjadi dilakukan oleh oknum yang punya wewenang kuat untuk menentukan kelulusan mahasiswa, bukan oknum pendidikan kelas bawah, Hal ini menguatkan bahwa praktik korupsi para oknum pendidik tak lagi dilakukan secara malu-malu, tetapi sudah terorganisir secara sistematis.
Melalui Survei Penilaian Integritas Pendidikan, KPK juga memotret dunia pendidikan dalam tiga dimensi. Hasil survei ini diterbitkan oleh KPK pada akhir April 2024. Hasilnya:
(1) dimensi karakter ditemukan perilaku integritas peserta didik masih cenderung bersifat parsial dan belum menjadi pembiasaan menyeluruh di satun pendidikan.
(2) pada dimensi ekosistem juga belum cukup kondusif untuk tegaknya nilai-nilai integritas. Ini terlihat dari masih minimnya keteladanan yang diberikan oleh para tenaga pendidik, seperti ketidakdisiplinan waktu mengajar, kecurangan akademik, atau maraknya praktik shadow education.
(3) pada dimensi tata kelola terlihat perilaku koruptif masih mengkhawatirkan seperti normalisasi gratifikasi, pungutan liar, kolusi dalam pengadaan barang/jasa, nepotisme penerimaan siswa/mahasiswa baru, laporan keuangan fiktif, dan pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang kurang akuntabel.
Setidaknya terdapat tujuh kategori instansi tempat terjadinya tindakan korupsi di sektor pendidikan, antara lain dinas pendidikan, sekolah, perguruan tinggi, kementerian/kanwil, dinas lainnya, institusi aparat penegak hukum, dan lainnya.
Sementara itu, sebagian besar modus korupsi di sektor pendidikan, yaitu laporan fiktif, penyalahgunaan anggaran, penggelembungan dana (mark up), pungutan liar/pemerasan, penyunatan anggaran, penggelapan, dan penyalahgunaan wewenang.
Dari kasus-kasus yang telah ditangani oleh penegak hukum, korupsi yang terjadi terkait dengan, antara lain dana BOS, Dana Alokasi Khusus (DAK), Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), hibah/ bansos, dan Program Indonesia Pintar (PIP). Di sisi lain, menyangkut pembangunan infrastruktur, pengadaan non infrastruktur, gaji/ insentif guru, dan lainnya.
Korupsi dana BOS umumnya melibatkan pihak sekolah, mulai dari kepala sekolah, bendahara hingga guru.
Ada pun salah satu yang menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi di sektor pendidikan adalah kompleksitas sistem pendidikan dan kurangnya transparansi dalam tata kelola pendidikan.
Oleh karenanya, Sistem Manajemen Anti Penyuapan berdasarkan SNI ISO 37001:2016, semestinya dapat menjadi salah satu alternatif bagi perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan lainnya untuk mencegah, mendeteksi dan merespon risiko korupsi di organisasi.
Dan semestinya pula kementerian yang berwenang mengawasi lembaga pendidikan aktif mendorong lembaga pendidikan untuk memiliki tata kelola yang berintegritas, berani memberikan sanksi bagi oknum-oknum yang melakukan korupsi.
Tidak hanya membuat kerugian keuangan negara, maraknya korupsi di sektor pendidikan, cepat atau lambat akan menggerus kualitas pendidikan. Korupsi juga membuat para siswa tidak bisa menerima manfaat layanan pendidikan secara optimal. Justru, makin memperlebar jurang disparitas pendidikan di masyarakat.
Jika kondisi tersebut tidak segera ditangani dan dicegah, bisa-bisa seperti yang dikhawatirkan Indonesia dalam darurat korupsi, menggelinding ke lubang gelap tidak berdasar (abyss).
Apa yang harus dilakukan? Memberantas korupsi tak bisa dengan sikap biasa, Korupsi sebagai ‘kejahatan luar biasa’ harus diberantas tak hanya dengan hukum konvensional, tetapi juga perlu terobosan kebijakan dan tindakan politik.
Eksplorasi konten lain dari Cinews.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.