Sekretaris DPC PJS Kabupaten Bangka, Julian Andryanto.
BABEL, cinews.id – Polemik pengerjaan normalisasi alur muara Air Kantung Sungailiat, Kabupaten Bangka, yang rencananya melibatkan tiga perusahaan swasta turut disoroti organisasi pers Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Kabupaten Bangka.
Sekretaris DPC PJS Kabupaten Bangka, Julian Andryanto mengatakan, polemik normalisasi alur muara Air Kantung harus dilihat secara komprehensif dari berbagai sisi.
“Kebijakan kompensasi penjualan pasir sebagai ganti biaya operasional yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada perusahaan pelaksana nantinya tidak mengakibatkan implikasi hukum,”kata Julian saat diwawancarai di Sungailiat pada, Rabu (21/5/2024) siang.
Meski demikian, Julian turut mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah (Pemda), perusahaan swasta dan segenap stakeholder lainnya yang telah mau berjibaku menormalisasi alur muara Air Kantung, sehingga lajur lalu lintas nelayan dapat kembali normal.
Namun, lepas dari persoalan normalisasi alur muara, Julian mengingatkan para pihak supaya lebih berhati-hati menentukan langkah, terutama perusahaan pelaksana normalisasi, karena dia takutkan kegiatan normalisasi tersebut dapat memicu konflik hukum berkepanjangan.
“Jangan sampai kegiatan normalisasi alur muara justru membuka celah bagi aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan, untuk memeriksa lebih dalam terkait perizinan dan dasar kebijakan kompensasi penjualan pasir,”tandas Julian.
Kendati, dia pun memahami alasan pemerintah daerah yang tidak memiliki kecukupan anggaran untuk mengerjakan normalisasi alur muara Air Kantung, sehingga kegiatan itu pun diserahkan ke pihak swasta.
Namun, Julian mengingatkan supaya kejadian kasus tahun 2017 jangan terulang kembali, meski saat itu sempat ditetapkan SP3 oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bangka Belitung.
Julian menjelaskan, dasar kebijakan kompensasi penjualan pasir sebagai biaya ganti operasional perusahaan harus lah jelas, mengingat adanya UU Minerba Tahun 2020 sebagai dasar aturan.
“Jangan sampai kegiatan penambangan pasir berdalih normalisasi, sehingga menggugurkan kewajiban perusahaan sebagaimana aturan UU Minerba Tahun 2020, berikut peraturan terkait lainnya,” ungkap Julian.
Menurut Julian, Lazimnya perusahaan tambang, Julian berkata mesti tahu berapakah volume produksi tahunan yang tercantum di RKAB perusahaan, agar bisa menghitung perolehan pajak dan royalti untuk negara dari hasil kompensasi penjualan pasir di muara Air Kantung tersebut.
“Lazimnya kan harus ada WIUP galian c, harus tahu berapa volume produksi tahunannya, agar bisa tahu dan jelas berapa nilai pajak dan royalti dari kegiatan penambangan itu,” terangnya.
Selain itu, dia juga meminta pemerintah daerah melakukan kontrol ketat terhadap material pasir yang dijual, mengingat unsur yang terkandung bukan hanya pasir semata.
“Kan ada kuarsa, silika, timah, termasuk mineral ikutan logam tanah jarang (LTJ). Semua punya nilai ekonomi. Apalagi LTJ itu sekarang masuk mineral kritis strategis yang dilindungi negara. Makanya harus jelas yang dijual perusahaan itu apa saja. Jangan bilangnya jual pasir, tapi unsur ikutan lain tidak dihitung. Jadi mesti jelas unsur yang dijual itu apa saja, dan berapakah volume produksi kubik atau tonase per tahun,” paparnya.
Dalam hal ini, Julian meminta pemerintah daerah untuk melakukan kajian atau studi kelayakan terhadap perusahaan-perusahaan yang berminat menjadi pelaksana pengerjaan normalisasi alur muara tersebut, supaya kebijakan ini lebih transparan dan akuntabel.
“Kalau bisa pemerintah daerah bikin dulu kajian dan studi kelayakannya, kenapa normalisasi ini harus diserahkan ke pihak eksternal, termasuk kalau bisa bikin saja semacam beauty contest proyek ini, biar tahu perusahaan mana yang memang layak dan siap,” ucap Julian.
Berkaitan dengan pengerjaan normalisasi itu, Julian memastikan akan terus mengawal dan menyoroti polemik ini, supaya tetap berjalan sesuai rel aturan yang berlaku..
Eksplorasi konten lain dari Cinews.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.