Jakarta, CINEWS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan delapan saksi dugaan korupsi kuota dan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama, hari ini, 4 September. Di antaranya adalah Syarif Hamzah Asyathry yang merupakan wiraswasta dan berstatus sebagai pengurus GP Ansor.
“Pemeriksaan dilakukan di gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/9/2025).
Selain Syarif, KPK juga memeriksa delapan saksi lainnya. Mereka adalah sebagai berikut:
- Zainal Abidin selaku Komisaris Independen PT Sucofindo
-
Rizky Fisa Abadi selaku Kasubdit Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggaraan Haji Khusus, Direktorat Bina Umrah dan Haji khusus periode Oktober 2022-November 2023
-
Muhammad Al Fatih selaku Sekretaris Eksekutif Kesthuri
-
Juahir selaku Divisi Visa Kesthuri
-
Firda Alhamdi selaku karyawan swasta yaoni pegawai PT. Raudah Eksati Utama
-
Syam Resfiadi selaku wiraswasta atau ketua Sapuhi
-
M Agus Syafi selaku Kasubdit Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggaraan Haji Khusus Periode Tahun 2023-2024
Belum dirinci Budi soal meteri pemeriksaan delapan saksi ini. Tapi, mereka dimintai keterangan terkait dugaan korupsi yang sedang ditangani.
“KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan tindak pidana korupsi terkait kuota haji untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum dugaan korupsi penambahan kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024. Lembaga ini beralasan penerbitan itu dilakukan supaya mereka bisa melakukan upaya paksa.
Sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.
Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah ini tapi masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kasus ini berawal dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah.
Hanya saja, belakangan pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.
Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.