Jakarta, CINEWS.ID – Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana mengungkapkan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menemukan sejumlah poin bermasalah dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Salah satunya adalah terkait pasal-pasal yang mengindikasikan memberikan kewenangan bagi personel TNI untuk menjadi penyidik di kasus pidana. Indikasi adanya kewenangan itu tertera pada Pasal 7 ayat (5), Pasal 87 ayat (4), Pasal 92 ayat (4) draf RKUHP.
Menurut Arif, sistem hukum pidana di Indonesia akan rusak bila TNI diberikan kewenangan untuk menyidik kasus pidana. Pada era Reformasi, TNI hanya ditugasi menjaga pertahanan dan kedaulatan NKRI, sedangkan sektor keamanan publik jadi ranah Polri.
“Kalau disahkan akan sangat berbahaya. Ini mengembalikan praktik dwifungsi ABRI dan akan mengacaukan sistem peradilan pidana kita. Akan ada dualisme penyidikan yang berdampak pada tumpang tindih kewenangan, nantinya tidak ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat,” kata Arif, Ahad 20 Juli 2025.
Arif menilai, pelibatan TNI sebagai penyidik kasus pidana berpotensi menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang berujung pada pelanggaran HAM dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penetapan tersangka.
“Selain itu, desain institusi TNI jelas bukan sebagai lembaga penegakan hukum, tapi institusi pertahanan. Desain ketatanegaraan kita menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang dididik untuk berperang, bukan menegakkan hukum dan hak asasi manusia,” ujar Arif.
Dia menegaskan, TNI tidak semestinya diberikan ruang menjadi penyidik dalam kasus-kasus pidana umum, cukup diberi kewenangan sebagai penyidik dalam kasus-kasus pidana yang melibatkan militer. Dia menyebut, draf KUHAP seharusnya berpijak pada prinsip KUHAP lama yang dikenal dengan koneksitas, di mana penyidik dari tentara hanya dapat menyidik tindak pidana yang dilakukan oleh tentara yang melakukan tindak pidana yang dilakukan dengan sipil untuk diajukan dalam pengadilan koneksitas.
“Karena itu, TNI tidak diperbolehkan berperan dalam penanganan perkara di ranah sipil. Kalau hal itu terjadi dapat merusak mekanisme penegakan hukum pidana yang selama ini berlaku di Indonesia,” kata Arif.
Editor: Ahmad Fitriyadi |