Jakarta, CINEWS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mendalami kasus dugaan suap pada pengurusan dana hibah di Jawa Timur (Jatim). Sebanyak dua saksi, wiraswasta Ahmad Zakki dan pihak swasta Kusriyanto, diminta menjelaskan aliran uang untuk tersangka.
Namun demikian, Budi tidak memerinci besaran uang maupun tersangka yang meminta fee. Sebagian tersangka menggunakan uang untuk membeli aset.
“Mereka didalami terkait dengan pembelian aset oleh tersangka,” jelas Budi.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan 21 tersangka dalam perkara ini. Sebanyak empat orang berstatus penerima suap dan 17 lainnya pemberi.
KPK masih ogah memerinci identitas mereka. Namun, tiga penerima suap berstatus penyelenggara negara, satu lagi staf pejabat.
Sementara itu, 15 pemberi suap merupakan pihak swasta. Sisanya berstatus sebagai penyelenggara negara.
Untuk di ketahui sebelumnya dalam kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaring Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak, Rabu 14 Desember 2022 malam.
Sahat ditangkap bersama tiga orang lainnya dalam kasus rasuah dana hibah APBD Provinsi Jatim. Modusnya, politisi kawakan Golkar Jatim itu menjadi pemulus jalan pemberian jatah dana hibah kepada kelompok masyarakat (Pokmas) untuk infrastruktur pedesaan, dengan mematok fee 20 persen dari setiap nilai proyek untuk Sahat dan 10 persen untuk penerima hibah.
Empat orang dikurung KPK dalam kasus ini. Selain Sahat, mereka adalah Rusdi (orang kepercayaan Sahat), Abdul Hamid (Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang), dan Ilham Wahyudi (IW, Koodinator Lapangan Kelompok Masyarakat).
Keterangan KPK menyebut kalau sahat sudah bermain rasuah dana hibah ini sejak tahun 2020. Sahat memainkan anggaran hibah APBD Provinsi Jatim tahun 2021/2022 dan berlanjut ke dana hibah tahun anggaran 2022/2023.
Modus rasuah Sahat mengambil fee dari alokasi hibah ini mengunakan sistem ijon. Pihak Pokmas memberi uang muka kepada Sahat layaknya ‘membeli’ jatah alokasi hibah yang dipastikan dimuluskan pencairannya.
“Besaran dana hibah Pokmas yang difasilitasi Sahat pada tahun 2021 dan 2022 adalah masing-masing sebesar Rp40 miliar,” ujar Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, sehari setelah Sahat ditangkap.
Dalam OTT KPK ini, Sahat diduga menerima uang pemulus Rp5 miliar. Proses pencairan suap lewat kurirnya yang tak lain adalah staf pribadi Sahat yang kemudian menukarkan uang rupiah ke dolar.
Kasus Sahat Simanjuntak adalah bagian kecil dari lingkaran setan korupsi dana hibah maupun bansos di Jatim. Menurut pengakuan seorang narasumber CINEWS, bancaan dana hibah, khususnya di daerah Madura sudah menjadi rahasia umum. Maka tak heran, kalau anggota dewan berbondong-bondong mengalihkan dana hibah tidak sesuai daerah pemilihannya, tapi dibelokkan ke dapil 14 yakni Madura.
“Sekitar 70 persen paket dana hibah dialihkan ke Madura,” kata salah satu narasumber CINEWS, Selasa (17/6/2025).
Alasan wakil rakyat lebih demen mengalirkan alokasi hibah ke daerah Madura, menurutnya, karena dirasa tarif fee (ijon) lebih besar dan prosesnya pasti lancar. Bahkan, dalam praktik ini, persentase fee-nya bisa mencapai 30 persen dari nilai proyek.
Contoh nyata ada pada permainan Sahat. Jatah hibah Sahat yang seharusnya disalurkan ke kelompok masyarakat (Pokmas) di daerah pemilihannya atau Dapil 9 (meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi), tapi malah dibelokkan ke dapil 14 kawasan Madura demi meraup untung fee besar.
“Di Madura ini tempat cuci uang dewan,” jelas sumber CINEWS.
Masih dari sumber yang sama, karena tingginya harga pasaran ijon di Madura, sampai muncul juga istilah ‘pengepul paket dana hibah’. Seorang pengepul ini bisa membeli jatah hibah masing-masing anggota dewan untuk dijual kembali ke pasar gelap hibah.
“Pembelinya bisa anggota dewan bisa kepala desa atau Pokmas yang tentu berharap uang ‘kenakalan’ dari pencairan hibah,” katanya.
Maka tak heran, modus yang sudah berjalan bertahun-tahun ini lantas semakin menyuburkan kelompok-kelompok masyarakat abal-abal di desa-desa. Karena memang, Pokmas adalah kunci bagi pencairan hibah.
“Satu desa bahkan sampai ada 17 Pokmas. Ini kan ngeri,” kata sumber.
Soal pencairan hibah lancar, itu karena proposal bisa dibuat dalam semalam saat sudah ada komando dari sang pelicin atau anggota dewan. Tapi, biasanya di awal cuma setor nama Pokmas saja, agar bisa masuk ke Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
“Kalau sudah pasti ada komando cair, barulah buat proposalnya dibikin tanggal mundur di Kecamatan. Kalau diusut ini bisa sampai Kecamatan,” ungkapnya.
Kalau sudah diinput di awal, biasanya ada dari Dinas tertentu melakukan survei ke Pokmas (sebatas struktur organisasi ada ketua sekretaris, bendahara), lalu dilakukan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), setelah itu pencairan.
“Pencairan itu utuh langsung masuk rekening Pokmas tanpa PPN. Setelah itu pokmas belanja sesuai NPHD. Setelah itu bikin LPJ,” lanjutnya.
Betapa cerita ini menunjukkan bahwa mekanisme pencairan Dana Hibah itu sangat membuka lebar peluang korupsi. Karena saat pengajuan hibah itu disetujui, 100 persen dana tersebut ditransfer ke rekening penerima yakni Pokmas. Dana tersebut juga dikelola sepenuhnya oleh penerima dana hibah. Di sinilah peluang sistem ijon diterapkan sangat besar.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dana hibah maksimal 10 persen dari APBD. Karena PAD Jatim Rp18 Triliun dikali 10 persen ketemu Rp1,8 Triliun.
Besaran dana hibah ini pun berdasarkan hasil reses atau serap aspirasi anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing. Pokok pikiran (pokir) hasil reses itu yang kemudian diajukan dalam pembahasan APBD. Dan perlu di ketahui, tujuan dana hibah ini adalah untuk pengembangan suatu wilayah dan besaran pagu dana hibah setiap anggota DPRD ini beragam.
Namun demikian, tidak ada transparansi dalam penyaluran dana hibah di Pemprov Jatim. Selain itu juga tidak adanya monitoring dan evaluasi (monev).
| Reporter: Muhammad Faudzan |
| Editor: M. Ibnu Ferry |
Eksplorasi konten lain dari CINEWS.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

