Jakarta, CINEWS.ID – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Chusnunia Chalim mendesak pemerintah meninjau kembali izin pertambangan nikel yang dimiliki PT Gag Nikel. Lokasi tambang tersebut berada di sekitar kawasan konservasi laut dan destinasi super prioritas nasional, yakni Raja Ampat, Papua Barat Daya, wilayah yang dikenal akan kekayaan terumbu karang dan keindahan alam bawah lautnya.
“Mengenai izin pertambangan nikel di sekitar wilayah destinasi super prioritas tersebut patut dikaji kembali,” kata Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa itu dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/6/2025).
Menurut Chusnunia, jalur logistik tambang nikel, terutama pengangkutan dari lokasi tambang ke smelter yang merupakan aspek krusial akan berdampak serius terhadap ekosistem laut.
“Hal ini harus dikaji ulang. Dampaknya bisa langsung menghantam ekosistem laut, termasuk merusak terumbu karang yang menjadi daya tarik utama pariwisata Raja Ampat,” tandasnya.
Dia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan kawasan konservasi. Dalam pandangannya, seluruh pemangku kepentingan,baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pelaku industri harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertambangan yang beroperasi di wilayah-wilayah dengan tingkat kerentanan ekologis tinggi.
Lebih lanjut, Chusnunia menyatakan komitmennya untuk terus mendorong hadirnya kebijakan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengedepankan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan bagi generasi masa depan.
97 Persen Wilayah Raja Ampat Adalah Kawasan Konservasi
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam mengungkapkan keresahannya atas aktivitas pertambangan nikel yang diduga mencemari lingkungan di wilayahnya.
Orideko menilai, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan intervensi terhadap aktivitas tambang yang beroperasi di wilayah konservasi tersebut.
Pernyataan ini disampaikan Bupati Orideko di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap ekspansi tambang nikel di Papua Barat Daya, termasuk wilayah Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu surga keanekaragaman hayati dunia.
“97 persen wilayah Raja Ampat adalah kawasan konservasi. Ketika terjadi pencemaran lingkungan akibat tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena kewenangan kami terbatas,” ujar Orideko Burdam, dalam pernyataan resmi, Jumat (6/6/2025).
Bupati menyoroti bahwa izin pertambangan, termasuk pemberian dan pencabutannya, sepenuhnya diatur oleh pemerintah pusat.
Hal ini, menurutnya, menyulitkan pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem laut yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat Raja Ampat.
Aktifis Lingkungan Hidup
Greenpeace dalam pernyataan resminya mengungkapkan adanya dugaan eksploitasi nikel di tiga pulau yang berada di sekitar kawasan Raja Ampat. Yakni, Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Aktivitas pertambangan di wilayah ini disebut telah mengakibatkan kerusakan serius, dengan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami yang dibabat habis.
Dokumentasi yang dihimpun Greenpeace menunjukkan pembukaan lahan dan pengerukan tanah memicu limpasan sedimen ke wilayah pesisir. Hal ini berpotensi besar merusak terumbu karang dan mengganggu keseimbangan ekosistem laut Raja Ampat yang sangat sensitif.
Tak hanya ketiga pulau tersebut, ancaman tambang nikel juga membayangi pulau-pulau kecil lain seperti Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang berdekatan ini terletak sekitar 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst ikonik yang menjadi latar gambar pada uang pecahan Rp100.000
Pemerintah Pusat Didesak Untuk Meninjau Ulang Sistem Sentralisasi Izin Tambang
Raja Ampat merupakan kawasan strategis nasional yang dilindungi karena kekayaan laut dan hutannya. Namun, aktivitas pertambangan yang masuk melalui izin pusat memicu kekhawatiran kerusakan ekologis permanen dan merusak daya tarik wisata berkelanjutan yang menjadi andalan ekonomi lokal.
Situasi ini memunculkan desakan kepada pemerintah pusat untuk meninjau ulang sistem sentralisasi izin tambang, serta memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan penindakan terhadap aktivitas industri ekstraktif yang merusak.
Reporter: Ahmad Fauzan |
Editor: Ibnu Ferry |