Berita  

Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Hanya 2 dari 17 Pelanggaran HAM Berat yang Diakui

Jakarta, CINEWS.ID – Sejumlah kalangan termasuk sejarawan mengkritik proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Dalam outline penulisan sejarah baru, hanya ada dua dari 17 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang diakui Komnas HAM. Beberapa peristiwa penting seperti kasus pelanggaran HAM tahun 65 hingga penculikan di akhir Orde Baru disebut tak masuk dalam outline buku tersebut.

Menanggapi kritikan itu, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia (Menbud RI), Fadli Zon mengatakan, dalam proyek penulisan ulang sejarah baru Indonesia bukan hanya soal HAM.

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon.

“Ini bukan menulis tentang sejarah HAM, ini sejarah nasional Indonesia yang aspeknya begitu banyak dari mulai prasejarah atau sejarah awal hingga sejarah keseluruhan,” kata Fadli usai menghadiri soft launching Sumitro Institute di Taman Sriwedari Cibubur, Depok, Jawa Barat, Ahad (1/6/2025).

Menurutnya, publik tak perlu khawatir proyek penulisan ulang sejarah akan meninggalkan sejarah yang sudah ada.

“Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan mudah pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” jelas Fadli.

Fadli mengatakan, proyek penulisan ulang untuk membuat sejarah negara menjadi Indonesia-sentris dari era presiden pertama Soekarno hingga Joko Widodo (Jokowi) dan mengurangi bias-bias kolonial.

“Terutama untuk mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional kita dan tentu saja juga untuk menjadikan sejarah itu semakin relevan bagi generasi muda,” jelas Fadli.

Diketahui, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan sedang menggarap proyek untuk menulis ulang sejarah nasional, melibatkan 120 sejarawan dari berbagai universitas di Indonesia, dengan target penyelesaian pada 17 Agustus 2025 sebagai kado HUT ke-80 Republik Indonesia.

Proyek ini bertujuan menghasilkan 10 jilid buku sejarah nasional setebal 5.000 halaman, yang akan menggantikan Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang diterbitkan pada 2010-2012, dengan cakupan dari prasejarah hingga era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Proyek ini pun mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang meminta agar proyek dihentikan hingga prosesnya lebih terbuka dan melibatkan publik secara luas. Kekhawatiran utama adalah bahwa narasi sejarah resmi ini dapat mengaburkan fakta-fakta penting, seperti peran Soekarno dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 atau pelanggaran HAM berat pada era Soeharto,

Sebelumnya, Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah, Susanto Zuhdi menegaskan, bahwa proyek ini berbasis fakta akademik. Proyek ini dianggap penting untuk memperbarui narasi sejarah nasional berdasarkan temuan terbaru.

“Kami tetap akan menuliskan faktanya, fakta keras, ya. Ini suatu metodologinya, accepted history namanya,” kata Susanto Zuhdi saat rapat bersama Komisi X DPR di komplek parlemen Jakarta pada, Senin (19/5/2025).

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia digagas untuk memperbarui narasi sejarah nasional agar mencerminkan temuan terbaru dalam ilmu sejarah. Ketua Tim Penulisan, Susanto Zuhdi, menjelaskan bahwa perkembangan penelitian sejarah telah menghasilkan fakta-fakta baru yang berbeda dari narasi sebelumnya, sehingga penulisan ulang ini dianggap penting untuk memperkuat identitas nasional.

“Seiring perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat Indonesia, banyak sejarawan yang menemukan fakta-fakta lain atau terbaru ketimbang fakta sejarah yang selama ini tertulis,” ujar Susanto di Jakarta pada, Senin (19/5/2025).

Tim yang terdiri dari sejarawan muda dan senior dari Aceh hingga Papua ini telah bekerja selama lima bulan dan telah mencapai progres 70%.

Pembaruan ini juga bertujuan untuk menciptakan narasi yang lebih komprehensif, mencakup periode dari sejarah awal hingga masa kontemporer, termasuk pemerintahan Presiden Joko Widodo. Proyek ini menggunakan metodologi “accepted history” yang berbasis fakta keras dari penelitian akademik, dengan rencana menghasilkan 10 jilid buku sejarah nasional, masing-masing setebal 500 halaman.

Meski dianggap penting, proyek ini menghadapi tantangan waktu yang ketat, dengan target selesai dalam waktu kurang dari setahun pada 17 Agustus 2025. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa prosesnya terburu-buru, yang dapat mempengaruhi kedalaman analisis dan validitas narasi sejarah yang dihasilkan.

Kontroversi Narasi Sejarah Resmi 

Proyek penulisan ulang sejarah ini menuai kritik tajam dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang terdiri dari sejarawan, pegiat hukum, aktivis HAM, dan koalisi perempuan. Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menilai bahwa narasi “sejarah resmi Indonesia” yang digaungkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tidaklah tepat dan berpotensi menjadi alat politik.

“Ini merupakan ilusi, pemerintah seolah telah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya itu,” kata Marzuki di Gedung DPR, Jakarta pada, Senin (19/5/2025).

Kekhawatiran utama AKSI adalah potensi pengaburan fakta sejarah penting, seperti peran Soekarno dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 dan Asian Games 1962, serta 12 pelanggaran HAM berat pada era Soeharto. Kerangka konsep yang dipegang AKSI menunjukkan penekanan berlebihan pada glorifikasi Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”, yang dianggap dapat mendistorsi kebenaran sejarah.

“Ini sekarang adalah masalah prinsip, kami tidak ingin penghilangan fakta menjadi alat kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan defaktualisasi daripada peristiwa-peristiwa yang ada di masa yang lalu,” tambah Marzuki.

Kritik ini diperkuat oleh pengalaman masa lalu, seperti indoktrinasi melalui film G30S-PKI pada 1984-1998, yang menimbulkan trauma kolektif dan stigmatisasi terhadap keturunan PKI. Jaleswari Pramodhawardani dari Laboratorium Indonesia 2045 menyoroti bahwa penulisan sejarah tidak boleh hanya berfokus pada tokoh berkuasa, tetapi juga harus mencakup kebiasaan masyarakat dan hukum adat. AKSI menegaskan bahwa sejarah tidak boleh dimonopoli oleh satu narasi resmi yang berpotensi mengabaikan kebenaran dan keragaman perspektif.

Selain itu, Proyek penulisan ulang sejarah ini dinilai kurang melibatkan publik dan tidak transparan, sehingga memicu desakan untuk melibatkan lebih banyak pihak.

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, menegaskan, bahwa sejarah harus mencerminkan kebenaran, termasuk peristiwa kelam, agar masyarakat memiliki literasi sejarah yang memadai.

“Suatu bangsa akan maju ke arah mana, akan ditentukan apakah warga bangsanya memiliki literasi sejarah atau tidak,” kata Sulistyowati di rapat dengan Komisi X DPR, Senin (19/5/2025).

Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyatakan, bahwa anggota Komisi X belum menerima draf resmi proyek ini, sehingga mereka berencana memanggil Fadli Zon untuk menjelaskan prosesnya. Hetifah meminta narasi sejarah yang lebih adil, lengkap, dan objektif, dengan memanfaatkan metodologi baru, teknologi arsip digital, dan dokumen-dokumen lama yang kini terbuka.

“Bisa saja selama ini sejarah nasional banyak ditulis dari sudut pandang penguasa atau ideologi tertentu sehingga sering kali mengabaikan kontribusi kelompok minoritas, daerah terpencil, atau tokoh yang tidak dilibatkan dalam narasi sejarah,” kata Hetifah.

Jaleswari Pramodhawardani menambahkan bahwa proyek ini tidak cukup hanya melibatkan 120 sejarawan yang digandeng Kementerian Kebudayaan, tetapi harus diuji secara publik dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan inklusivitas. Proses yang transparan dianggap penting untuk menghindari bias dan memastikan bahwa sejarah yang ditulis mencerminkan keragaman budaya, sosial, dan politik Indonesia.

 

Editor: M. Ibnu Ferry

Eksplorasi konten lain dari CINEWS.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.