Sistem Penjurusan SMA Bisa Hadir Kembali Sebagai Solusi Jika Didesain Ulang Secara Bijak

Ilustrasi.
Penulis: M. Ibnu Ferry

Lampung, CINEWS.ID – Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti untuk mengembalikan Sistem Penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang di mulai tahun ajaran 2025/2026 di tingkat SMA pada tahun ajaran 2025/2026, Sebagian menilainya sebagai langkah mundur dari semangat Kurikulum Merdeka yang memberi keleluasaan bagi siswa, sementara sebagian yang lain menyambutnya sebagai bentuk kepastian yang sempat hilang.

Namun pelaksanaan ideal tidak selalu bertemu kesiapan lapangan. Di banyak sekolah, terutama di luar kota besar, fleksibilitas ini justru menghadirkan kebingungan. Siswa tidak memiliki cukup informasi atau bimbingan untuk menentukan pilihan mata pelajaran. Guru kesulitan menyesuaikan metode ajar dalam konteks kelas dengan siswa yang mengambil kombinasi pelajaran berbeda. Sekolah pun mengalami tantangan besar dalam menyusun struktur kurikulum dan membagi sumber daya manusia.

Namun demikian, satu hal kerap terlupakan, bahwa sistem pendidikan bukan hanya soal struktur, tapi juga soal kesiapan, konteks, dan pemahaman tentang siapa yang sedang dididik. Sistem penjurusan muncul sebagai solusi pedagogis sekaligus administratif.

Di satu sisi, kebijakan itu memberikan arah bagi siswa untuk memperdalam minat dan kompetensi sesuai bidang. Di lain sisi, penjurusan memudahkan pengelolaan pembelajaran, pembagian guru, hingga penyusunan jadwal sekolah.

Secara logistik, sistem itu memang memudahkan. Penjurusan di Indonesia, bukan sekadar pembagian bidang studi. Sistem itu akan dengan cepat berkembang menjadi suatu sistem hierarkis yang membedakan kualitas siswa berdasarkan jurusan yang dipilih atau diberikan. IPA dianggap lebih prestisius, lebih “ilmiah” dan lebih menjanjikan masa depan. IPS berada di tengah, dan Bahasa kerap ditempatkan di lapisan terbawah, seolah menjadi tempat bagi mereka yang “tidak berhasil” masuk dua lainnya.

Banyak siswa yang akan dipaksa atau diarahkan masuk jurusan tertentu bukan karena minat, tetapi karena tekanan nilai, harapan orangtua, atau citra sosial jurusan itu sendiri.

Akibatnya, alih-alih menjadi mekanisme untuk mendukung pembelajaran, penjurusan justru berubah menjadi alat klasifikasi sosial di dalam ruang sekolah. Karena pola pikir tidak pernah dinyatakan secara resmi dalam dokumen kebijakan, namun nyata dalam praktik dan budaya sekolah.

Sebelumnya, Penghapusan Sistem Penjurusan dalam Kurikulum Merdeka bertolak dari keinginan mendobrak sekat-sekat tersebut. Siswa diberi keleluasaan memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana masa depannya. Di atas kertas, ini adalah lompatan penting dalam pendidikan, yaitu membebaskan siswa dari kotak-kotak sempit yang kerap membatasi pengembangan potensi.

Lebih dari itu, kebebasan memilih tidak serta merta berarti kebebasan berpikir. Tanpa pendampingan yang memadai, siswa bisa memilih berdasarkan pengaruh lingkungan, tekanan teman sebaya, atau bahkan tren sesaat. Dalam konteks seperti ini, kebebasan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka belum tentu membebaskan.

Kembalinya penjurusan dalam sistem pendidikan tak serta merta bisa dicap sebagai regresi atau kemunduran, katena tidak semua perubahan linear menuju kemajuan. Ada kalanya kebijakan yang dianggap lama memiliki fungsi yang relevan dalam konteks tertentu, selama ada evaluasi dan didesain ulang sesuai zaman dan tidak mengulang kekakuan masa lalu.

Sistem penjurusan dalam bentuk barunya seharusnya harus lentur, adaptif dan berorientasi pada pengembangan jangka panjang siswa.

Agar penjurusan yang direvisi dan dibenahi bisa menjadi cara untuk menyinkronkan realitas pendidikan menengah dan tinggi, sekaligus melindungi siswa dari konsekuensi pemilihan pelajaran yang tidak informatif, dalam hal ini penting juga untuk meninjau hubungan sistem penjurusan ini dengan sistem seleksi pendidikan tinggi, Karena jika sistem seleksi tidak diperbarui secara paralel, penghapusan penjurusan justru bisa merugikan siswa dalam jangka panjang.

Fleksibilitas juga menjadi kunci. Penjurusan tidak boleh kaku, apalagi bersifat final di awal tahun. Harus ada masa transisi dan evaluasi yang memungkinkan siswa berpindah jalur jika merasa tidak cocok.

Selain itu, akses terhadap semua jurusan harus adil. Jangan sampai penjurusan Bahasa, misalnya, hanya disediakan di kota besar atau sekolah unggulan.

Terlepas dari itu semua, penjurusan hanyalah instrumen. Karena yang lebih penting adalah bagaimana negara mengambil peran dalam mendampingi generasinya tumbuh sebagai manusia yang berpikir, yang reflektif dan yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya. Karena pendidikan bukan proyek yang selesai dalam satu kebijakan. Pendidikan adalah medan yang terus berubah dan harus dikelola dengan kesadaran kontekstual.

Sistem penjurusan dengan segala problematika masa lalunya, bisa hadir kembali sebagai solusi jika didesain ulang secara bijak. Asal tidak mematikan pertumbuhan, maka struktur tidak selalu berarti belenggu, Ia bisa menjadi fondasi. Dan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberi arah tanpa memaksa, memberi kerangka tanpa membatasi kemungkinan.

Di balik rencana mengembalikan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, ada perdebatan mendasar soal struktur, kesiapan dan bimbingan pendidikan. Asal tidak kaku dan menyesatkan Penjurusan bukan akhir, tapi awal arah belajar.

Tantangan yang muncul dari Kurikulum Merdeka menunjukkan bahwa kebebasan tanpa struktur bisa menimbulkan kebingungan. Sebaliknya, struktur tanpa fleksibilitas berisiko mematikan potensi. Maka, tugas kita bukan memilih antara keduanya, tetapi merumuskan bentuk penjurusan yang lebih cair—yang memberi arah tanpa membatasi, dan memberi pilihan tanpa membingungkan.

Dalam dunia yang terus berubah, pendidikan harus mampu mengayomi keragaman potensi, bukan sekadar mengelompokkannya.