Lampung, CINEWS.ID – Kasus pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten tak kunjung masuk meja hijau, hal itu karena adanya perbedaan pendapat antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polri.
Di satu sisi, Kejagung menduga ada persoalan korupsi negara dalam penerbitan dokumen sertifikat lahan pagar laut Tangerang itu. Sementara di sisi lain, Bareskrim Polri menilai bahwa persoalan yang terjadi hanya sebatas pada pemalsuan dokumen semata.
Padahal, sejak 25 Maret 2025 Kejagung telah memberikan instruksi kepada Bareskrim agar turut mengusut dugaan suap atau gratifikasi yang berkaitan dengan korupsi dalam kasus ini.
Pasalnya, jaksa menemukan adanya dugaan atau potensi terjadinya korupsi dalam pemalsuan surat tanah yang dilakukan Kepala Desa Kohod, Tangerang, Arsin, bersama jajaran stafnya.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar mengatakan, otoritas di kejaksaan masih percaya Kepolisian bakal turut mengusut korupsi penguasaan lahan untuk pendirian pagar laut sepanjang 30,1 kilometer (km) tersebut.
Hal itu disampaikan Harli menjawab informasi yang tersebar belakangan tentang tim penyidikan Jampidsus-Kejagung yang sudah mengambil alih penyidikan korupsi dalam pendirian pagar laut.
“Saya sampaikan, supaya tidak bisa di masyarakat, bahwa itu (penyidikan pagar laut oleh penyidik Jampidsus-Kejagung) belum dapat dikonfirmasi kebenarannya,” kata Harli saat ditemui di Kejagung, Jakarta pada, Jumat (9/5/2025).
Namun demikian, menurut Harli, pihaknya mendorong agar Polri mengembangkan pengusutan skandal pagar laut di Tangerang, Banten itu dengan menyertakan sangkaan-sangkaan terkait tindak pidana korupsi.
“Sikap kita (kejaksaan) terkait dengan penanganan perkara pagar laut ini, kita mempersilakan, memberikan ruang, menghormati teman-teman penyidikan yang ada di Polri untuk melakukan penyidikan (tindak pidana korupsi) ini, untuk melakukan penegakan hukum. Kami persilakan,” ujar Harli.
Harli mengatakan, terkait pengusutan korupsi dalam skandal pagar laut tersebut, sebetulnya sudah berkali-kali dimintakan oleh kejaksaan kepada Polri.
Formalitas permintaan itu kata Harli, setidaknya dua kali disampaikan melalui pengembalian berkas perkara Kepala Desa Kohod Arsin.
Diketahui, Arsin, adalah salah-satu dari empat yang sudah dijerat tersangka oleh tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri terkait dengan pengusutan kasus pagar laut.
Penyidik Polri menjerat Arsin dengan sangkaan Pasal 263 KUH Pidana. Arsin sempat dijebloskan ke sel tahanan oleh kepolisian lantaran melakukan tindak pidana berupa pemalsuan dokumen-dokumen dan surat-surat untuk permohonan penerbitan sebanyak 263 sertifikat hak guna bangunan maupun hak milik tanah sebagai landasan dalam pendirian pagar laut.
Dalam perkembangannya kasus tersebut, berkas perkara Arsin sudah dua kali dilimpahkan oleh kepolisian ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum). Dimana pelimpahan berkas perkara tersebut, dimaksudkan agar Jaksa segera membawa Arsin ke persidangan atas tuduhan Pasal 263 KUH Pidana.
Akan tetapi, dari dua kali pelimpahan berkas perkara oleh kepolisian itu, JPU selalu menolak dan mengembalikannya ke penyidik. Dalam penolakan berkas perkara itu memberikan petunjuk kepada pihak kepolisian agar kasus pemagaran laut tersebut menjadikan pasal-pasal dalam UU Tipikor sebagai dasar penyangkaan utama.
Menurut Harli, JPU menebalkan petunjuk bagi kepolisian bahwa pemalsuan dokumen dan surat-surat oleh para tersangka itu terindikasi adanya pidana lain. Karena terungkap, pemalsuan tersebut diduga untuk keuntungan pihak lain yang akan mengembangkan proyek kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.
“Analisa jaksa mengungkapkan adanya indikasi kuat bahwa penerbitan SHM, SHGB, serta izin PKK-PR darat dilakukan secara melawan hukum. Dan dugaan tersebut meliputi pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, serta adanya indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh para tersangka, termasuk kepala desa Kohod, dan Sekretaris Desa Kohod,” jelas Harli.
Karena dari analisa jaksa atas kasus tersebut mencukupi adanya dugaan korupsi, karena adanya kerugian keuangan, maupun perekonomian negara.
“Selain itu, ditemukan juga potensi kerugian keuangan negara, dan kerugian perekonomian negara sebagai akibat dari penguasaan wilayah laut secara ilegal. Hal tersebut termasuk dalam penerbitan izin dan sertifikat tanpa izin reklamasi maupun izin PKK-PR laut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,” terang Harli.
Dalam pengembalian berkas tersebut, jaksa meminta agar penyidik kepolisian memenuhi petunjuk-petunjuk yang sudah disampaikan dalam pengembalian berkas perkara.
“Jaksa memberikan petunjuk agar penyidikan perkara pagar laut ini, ditindaklanjuti ke ranah tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),” ujar Harli.
Namun demikian, petunjuk-petunjuk JPU tersebut, diabaikan oleh kepolisian.
Polri bersikeras tak ada korupsi
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipudum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan, pihaknya yakin kasus ini masih berfokus pada dugaan pemalsuan surat, bukan tindak pidana korupsi.
“Dari penyidik Polri, khususnya melihat bahwa tindak pidana pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal 263 KUHP menurut penyidik, berkas yang kami kirimkan itu sudah terpenuhi unsur secara formal maupun materiil. Artinya, kita sudah hari ini kembalikan dengan alasan-alasan yang tadi kami sampaikan,” ujar Djuhandhani saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri, Kamis (10/4/2025).
Menurut Djuhandhani, setelah menerima petunjuk dari berkas P19 yang diberikan oleh Kejaksaan Agung, penyidik segera melakukan sejumlah pemeriksaan dan meminta keterangan dari sejumlah ahli, terutama untuk memeriksa ada tidaknya unsur korupsi dalam kasus yang tengah diselidiki.
Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum telah berdiskusi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mencari tahu ada tidaknya kerugian negara dalam kasus pagar laut di Tangerang.
“Dari teman-teman BPK, kita diskusikan, kira-kira ini ada kerugian negara di mana ya. Mereka belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara,” lanjutnya.
Ada tidaknya kerugian negara ini penting karena menjadi salah satu unsur penentu suatu kasus disebut sebagai kasus korupsi atau bukan.
Polri Dinilai Sempit Pandangan
Langkah Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri yang tidak mengusut dugaan adanya korupsi dalam kasus pagar laut di Tangerang karena dinilai tidak ada kerugian negara menuai kritik tajam.
Aktivis antikorupsi sekaligus mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menjelaskan, bentuk korupsi yang dibahas dalam konstruksi tindak pidana korupsi sangat luas.
“Sayang sekali Bareskrim memahami korupsi dalam kacamata yang sempit sebatas kerugian negara, padahal pidana korupsi sangat luas, ada suap, gratifikasi, ada perbuatan curang, pemerasan, dan lain-lain,” kata Agus, Kamis (17/4/2025).
Agus meyakini dalam kasus pagar laut ini telah terjadi peralihan hak milik tanah dari negara menjadi milik pribadi atau perusahaan yang harus diusut hingga tuntas. Ia pun menyarankan agar penyidik Bareskrim Polri dan tim dari Kejaksaan duduk bersama agar dapat menyamakan konstruksi atau pemahaman terhadap kasus yang tengah ditangani.
Kritikan yang serupa juga dilontarkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). MAKI menyayangkan langkah Bareskrim Polri yang terkesan “ngeyel” tidak mengikuti petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam mengusut kasus ini.
“Sebenarnya sangat disayangkan Dittipidum dalam tanda kutip ngeyel dari petunjuk jaksa. Mestinya dipatuhi saja kan enak,” ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dihubungi, Rabu (16/4/2025).
Boyamin mengatakan, petunjuk jaksa yang meminta Polri untuk mengusut kasus pagar laut di Tangerang ke arah pidana khusus, yaitu korupsi, seharusnya bisa dipatuhi oleh Dittipidum.
“Ini kan malah meringankan kerja Dittipidum. Langsung atas petunjuk jaksa itu, berkas diserahkan ke Kortas Tipikor karena Kortas Tipikor juga sudah menangani perkara pagar laut itu menjadi perkara korupsi,” lanjut Boyamin.
Kasus Pagar Laut Sebaiknya Ditangani Kejagung
Jika Bareskrim Polri terus bertele-tele dalam menangani kasus pagar laut Tangerang itu, banyak kalangan menilai, kasus ini sebaiknya diserahkan kepada Kejaksaan Agung.
Karena dalam konstruksi kasus pemalsuan surat tanah ini telah terjadi korupsi, baik itu suap maupun gratifikasi. Oleh sebabnya, kasus ini bukan lagi menjadi ranah pidana umum, tapi tindak pidana khusus.
Karena dalam kasus itu ada dugaan korupsi, baik itu dalam bentuk suap maupun gratifikasi. Sehingga, ada dugaan dalam kasus itu melibatkan banyak pihak.
Karena sudah masuk ke pidana khusus, dan dalam kasus ini Kejaksaan punya wewenang untuk ikut terlibat dalam proses penyidikannya.
Kontributor : M. Ibnu Ferry
Penulis : Jajang Suryana Editor : Hermanto Effendi |