Berita  

Anggota Komisi VI DPR Mengkritik PLN Soal Tagihan Listrik Melonjak Usai Disubsidi 50 Persen

Anggota Komisi VI DPR Mufti Anam.

Jakarta, CINEWS.ID – Komisi VI DPR RI mengkritik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait lonjakan tagihan listrik pascakebijakan potongan tarif listrik 50 persen bagi pelanggan daya 2.200 VA ke bawah pada Januari hingga Februari lalu.

Anggota Komisi VI DPR Mufti Anam meminta PT PLN transparan dalam menerapkan kebijakan subsidi tarif listrik untuk konsumen, termasuk masa berlakunya.

“Kenaikan tajam tagihan listrik yang dikeluhkan masyarakat pasca-berakhirnya program diskon tarif 50 persen dari pemerintah pada Februari 2025 menimbulkan sejumlah persoalan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan PLN,” kata Mufti, Selasa (8/4/2025).

“Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi kebijakan tarif listrik, perlindungan konsumen, serta efektivitas komunikasi publik dari instansi terkait,” sambungnya.

Mufti mengungkapkan, banyak masyarakat dan pengguna media sosial mengeluhkan ketidaksesuaian durasi diskon listrik yang diklaim hanya berlangsung dua bulan. Padahal, kata dia, sebelumnya potongan tarif tersebut diinformasikan akan berjalan selama tiga bulan.

Menurut Mufti, hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara ekspektasi masyarakat dan pelaksanaan kebijakan di lapangan. “Pemerintah dan PLN perlu menjelaskan secara terbuka terkait mekanisme program subsidi, syarat dan durasi berlakunya, serta alasan penghentiannya lebih awal (jika memang benar demikian),” ungkapnya.

Dia menilai, klaim PT PLN terkait kenaikan tarif karena pemakaian perlu diuji. Sebab, kata Mufti, banyak masyarakat yang menyatakan tidak ada perubahan signifikan terkait konsumsi listrik di rumahnya.

“Penjelasan dari pihak PLN bahwa lonjakan tagihan disebabkan oleh peningkatan konsumsi listrik tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar tanpa pembuktian yang jelas dan dapat diakses publik,” kata Mufti.

“Banyak warga melaporkan tidak adanya perubahan signifikan dalam pola konsumsi mereka, bahkan dengan penggunaan listrik yang tergolong rendah,” jelasnya.

Karena itu, Mufti menegaskan, PLN perlu membuka data riil dan memberikan layanan audit pemakaian listrik secara transparan kepada pelanggan. Ia menyatakan, kenaikan drastis tagihan listrik, khususnya bagi golongan masyarakat kelas menengah ke bawah, jelas berdampak pada daya beli dan kondisi sosial ekonomi rumah tangga.

Dalam situasi pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan inflasi berbagai sektor, menurutnya, ketidakpastian tagihan listrik menjadi beban tambahan yang tidak kecil.

“Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan subsidi dan penyesuaian tarif tidak justru memicu keresahan sosial,” tegasnya.

Di sisi lain, Mufti menilai, perlu ada evaluasi terhadap layanan PLN Mobile. Sebab menurutnya, meski aplikasi PLN Mobile disebut sebagai sarana untuk memantau penggunaan listrik, masih banyak pelanggan yang belum familiar atau tidak mendapatkan edukasi memadai terkait cara membaca dan mengevaluasi riwayat pemakaian listrik mereka.

“Ini menunjukkan bahwa digitalisasi layanan belum disertai dengan literasi digital yang merata,” katanya.

Mufti pun mendesak Pemerintah melalui Kementerian ESDM untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh atas dampak kebijakan pencabutan diskon listrik, termasuk memastikan konsistensi informasi publik.

Selain itu, sambung Mufti, PLN juga harus membuka forum pengaduan dan klarifikasi secara aktif untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat, serta menyediakan opsi audit pemakaian tanpa membebani pelanggan. Ia mengatakan, DPR RI mendorong PLN untuk mengkaji ulang sistem tarif dan pengawasan publik terhadapnya.

“Dengan kondisi seperti ini, sangat penting agar negara hadir tidak hanya dalam bentuk subsidi sesaat, tetapi melalui kebijakan energi yang berkelanjutan, transparan, dan berpihak pada rakyat, terutama kelompok rentan,” pungkasnya.


Eksplorasi konten lain dari CINEWS.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.