Yusril Ihza Mahendra Sebut Peristiwa 98 Bukan Pelanggaran HAM Berat, Ini Alasannya

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra (Sumber Istimewa).

JAKARTA, Cinews.id – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra sebut peristiwa 98 bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Menurut Yusril kasus pelanggaran HAM berat tidak terjadi dalam beberapa puluh tahun terakhir. Ia juga menyebut pelanggaran HAM berat terakhir terjadi saat masa penjajahan.

“Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (21/10/2024).

Saat ditanya wartawan mengenai peristiwa 98, dengan tegas Yusril menyatakan hal tersebut tidak termasuk pelanggaran berat.

“Nggak,” kata Yusril kepada awak media.

Menurutnya setiap kejahatan adalah pelanggaran HAM. Namun, tidak semua kejahatan termasuk pelanggaran HAM berat.

“Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir,” ujarnya.

Mantan Ketua Umum Partai Bulan bintang ini mengatakan pernah menghadapi kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat saat masih menjabat menteri kehakiman dan HAM pada awal reformasi.

Yusril menyatakan dirinya menjalani sidang di Komisi HAM PBB di Jenewa selama tiga tahun. Ia menjelaskan timnya telah membentuk pengadilan HAM, baik ad hoc maupun konvensional serta komite kebenaran dan rekonsiliasi.

“Jadi, sebenarnya kita tidak menghadapi persoalan pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.

“Kementerian kita, pada waktu itu berhasil membentuk undang-undang sekaligus membentuk pengadilan HAM ad hoc dan juga menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujar Yusril dalam acara penyambutan menteri dan wakil menteri kabinet baru di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (22/10/2024).

Menurut Yusril capaian tersebut membuktikan Indonesia dapat menghadapi tantangan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang saat itu mengancam akan membentuk pengadilan internasional atau international tribunal untuk mengadili Indonesia.

“(Pengadilan tersebut) atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang diduga terjadi di negara kita. Alhamdulillah dapat kita hindarkan bersama,” tutur Yusril.

Untuk diketahui tiga pasal dari Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang menjadi rujukan Yusril telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.

Adapun ketiga pasal yang dibatalkan oleh MK dari UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah Pasal 1 angka 9 yang berbunyi, “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR”.

Selanjutnya, Pasal 27 yang berbunyi, “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.

Serta Pasal 44 yang berbunyi, “Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM”.

Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie yang saat itu menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pernyataannya termaktub dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006.

Pasal-pasal tersebut juga dianggap menutup kemungkinan korban untuk mendapatkan keadilan melalui lembaga peradilan dan tidak memberi kepastian hukum.

Peristiwa 98 kembali menjadi sorotan publik usai Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden.

Sosok Prabowo menjadi salah satu sosok yang diduga terlibat dalam penghilangan paksa aktivis pada tahun 1998.

Pada saat itu Panglima ABRI Jenderal Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memeriksa tujuh tudingan terhadap Prabowo, termasuk penculikan aktivis.

DKP menyatakan Prabowo bersalah dalam keputusan nomor KEP/03/VIII/1998/DKP sehingga membuat dirinya diberhentikan dari dinas kemiliteran.

Namun begitu hingga kini kasus penghilangan paksa aktivis 98 dianggap belum terselesaikan.

Sebelumnya pemerintahan Presiden Jokowi telah mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Tiga di antaranya terjadi di sekitar 1998, yakni penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998; kerusuhan 13-15 Mei 1998; dan penghilangan paksa 14 orang pada 1997-1998.


Eksplorasi konten lain dari Cinews.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *