JAKARTA, Cinews.id – Keberadaan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang terus menjadi perbincangan publik dalam beberapa pekan terakhir, Masalahnya, pagar sepanjang puluhan kilometer itu tidak diketahui siapa pemiliknya, meski sejumlah kalangan mengklaim Agung Sedayu Group sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk ini, namun tudingan tersebut ditampik yang bersangkutan.
Dugaan bahwa pemagaran laut di Tangerang dilakukan untuk reklamasi pengembangan Pantai Indah Kosambi (PIK) 2 juga dilontarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi. Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional Dwi Sawung mengaku heran karena tidak satu pun otoritas daerah maupun pusat tahu menahu soal pemagaran laut yang terbentang itu.
Temuan sertifikat hak guna bangun (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) atas laut Tangerang oleh Walhi mengundang tanda tanya. Sebab menurut data BHUMI, perkiraan total wilayah laut yang masuk area HGB mencapai 537,5 hektare.
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Nusron Wahid membenarkan bahwa sertifikat HGB telah terbit untuk 263 bidang di dan sekitar wilayah perairan tersebut. Selain itu, ada SHM untuk 17 bidang lainnya.
Menurut Nusron, ada sembilan bidang yang mendapat sertifikat HGB atas nama perorangan, sementara sertifikat HGB untuk 254 bidang dimiliki dua perusahaan.
Dalam sesi jumpa pers awal pekan ini, Nusron membeberkan pemilik sertifikat tersebut, yaitu atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, dan atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang.
Ternyata dua perusahaan tersebut dimiliki PT Agung Sedayu dan beberapa entitas lain, yang dikendalikan keluarga konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan.
Seperti diketahui, Agung Sedayu Group merupakan pengembang kawasan PIK 2 yang bersebelahan dengan titik awal pagar laut di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Agung Sedayu Group juga bermaksud membangun PIK Tropical Coastland yang masuk dalam proyek strategis nasional atau PSN sejak tahun lalu. Lokasinya tak jauh dari pagar laut itu.
Mengenai penerbitan HGB di atas laut, ada kemungkinan sertifikat HGB diterbitkan lewat mekanisme rekonstruksi atau reklamasi tanah musnah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No.3/2024.
“Tanah musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya, yang ditetapkan tanah musnah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait tata cara dan penetapan tanah musnah,”bunyi aturan itu di kutip Cinews.id, Rabu (22/1/2025).
Maka ada dugaan, ada pihak yang berusaha mereklamasi kawasan pesisir Tangerang dengan dalih daerah tersebut tadinya adalah tanah warga yang telah musnah. Dan ada indikasi bahwa pagar laut yang ada di sana bertujuan membatasi wilayah HGB yang akan direklamasi.
Padahal semestinya, penerbitan HGB seharusnya melalui proses reklamasi terlebih dahulu. Setelah tanah diuruk, hak pengelolaan diterbitkan oleh pemerintah, baru kemudian pengembang mendapatkan sertifikat HGB. Tapi dalam kasus di Tangerang, tanah di laut belum diuruk namun sudah memiliki HGB.
Hal itu menjadi tidak lazim, karena HGB adalah Hak Guna Bangunan, yang artinya ada rencana bangunan di atasnya. Bagaimana mungkin bangunan bisa direncanakan di atas laut tanpa pengurukan terlebih dahulu
Maka dapat di pastikan bahwa pemberian HGB hingga SHM di lokasi pagar laut Tangerang, ada indikasi sebagai maladministrasi serta penyalahgunaan kewenangan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanhan Nasional (BPN), karena pelaksanaannya tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu yang menjadi rujukan adalah amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 atas pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa laut adalah milik bersama yang adil dan terbuka untuk semua.
Karena persoalan HGB Pagar Laut ini sebenarnya bukan sekadar terbitnya izin dari kementerian terkait, ini merupakan persoalan tersistematis mulai dari ranah pemerintah di level desa hingga pemerintah pusat.
Persoalan ini menjadi misterius jika memang pemerintah daerah hingga level pemerintah desa sengaja menutup mata dan abai atas pembangunan pagar laut tersebut.
Padahal dalam amanat amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) pasal 33 ayat 2, 3, dan 4 yang ia kutip disebutkan bahwa sistem perekonomian yang digunakan dan dikembangkan seharusnya tidak menggunakan asas persaingan dan individualistik
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,” demikian bunyi UUD tersebut.
Pasal tersebut begitu jelas memberikan landangan konstitusional penyelenggaraan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial di Indonesia. Sebagai negara hukum, amanat pasal 33 tersebut secara implisit menunjukkan bahwa kekuatan negara tidak lebih besar dari kekuatan individu, kelompok, maupun segelintir orang.
Dalam hal ini Negara tidak boleh kalah terhadap kepentingan segelintir orang. Dan sebenarnya bukan hal yang sulit menemukan siapa dalang di balik pagar laut ini.