Lampung, CINEWS.ID – Meskipun diwarnai penolakan dari masyarakat sipil, namun Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR, Puan Maharani pada, Selasa 18.November 2025.
Pengesahan yang disetujui oleh seluruh peserta rapat paripurna itu terjadi ketika para pegiat demokrasi menilai ada sejumlah pasal bermasalah dalam RUU tersebut.
Mereka mencemaskan pasal-pasal itu bakal membuka perlakuan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.
Alih-alih mewujudkan penegakan hukum, RUU KUHAP dinilai bisa merebut paksa kemerdekaan diri dengan pasal-pasal yang bermasalah.
Menurut perspektif dari masyarakat, dalam hal substantif itu banyak yang tidak bisa diakomodasi oleh KUHAP ini.
Publik juga menilai, bahwa DPR dan pemerintah tidak serius melibatkan masyarakat untuk memberikan masukan.
Meskipun di lain sisi, Para politikus di DPR, yang terlibat dalam proses pembahasan RUU KUHAP, mengklaim pihaknya justru sejak awal menampung masukan masyarakat sipil.
Sebelum rapat paripurna berlangsung, Selasa 18 November 2025, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mengatakan, bahwa pihaknya tidak bisa memenuhi semua masukan, namun Ia mengklaim bahwa RKUHAP tersebut 99 persen isinya berasal dari usulan masyarakat sipil.
Habiburokhman pun menuding adanya hoaks atau berita bohong yang beredar sangat masif di media sosial yang intinya menyebutkan empat hal kalau RUU KUHAP disahkan. Polisi jadi bisa lakukan penahanan ke kamu tanpa izin hakim.
Tuduhan hoaks itu sendiri menurutnya, juga sejalan dengan susahnya mendapatkan akses terhadap draf. Ini kegagalan menghadirkan judicial scrutiny yang diadvokasi selama 40 tahun.
Di sisi lain, DPR dituduh mencatut sebagian nama dan koalisi yang kemudian dicantumkan ke dalam peserta Rapat Dengar Pendapat pada 29 September 2025 untuk memenuhi syarat partisipasi bermakna.
Salah satu nama yang ada adalah Delpedro Marhaen yang ditangkap pada awal September 2025 dan kini berada di Rumah Tahanan Salemba.
Publik pun menyoroti sejumlah pola pelanggaran berulang ditemukan pada demonstrasi akhir Agustus. Ada pun Pola pelanggaran berulang yang dimaksud mencakup kekerasan aparat, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan, penangkapan sewenang-wenang, masa penahanan yang melebihi batas, dan proses hukum yang tidak transparan.
Kejadian itu memperlihatkan betapa besarnya kewenangan aparat penegak hukum dalam rangka “pengamanan” dan muncul di saat RUU KUHAP belum disahkan.
Kondisi penegakan hukum selama ini dikritik berbagai kelompok sipil lantaran masih menunjukkan wajah bopengnya. Keberadaan RUU KUHAP justru disebut bakal menjauhkan proses hukum yang berkeadilan.
Secara ringkas, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan pedoman yang mengatur tata cara para penegak hukum—dari polisi sampai jaksa—dalam melaksanakan kewenangannya.
Pembentukan KUHAP diharapkan mampu menjawab keluhan masyarakat yang mengalami kejadian pahit, baik laporan pencurian motor yang tidak ditanggapi secara serius hingga korban kekerasan seksual yang tak kunjung memperoleh keadilan atau penanganan yang layak.
Visi yang termuat lewat RUU KUHAP, dinilai justru akan berlaku sebaliknya. Alih-alih mewujudkan penegakan hukum, RUU KUHAP dapat merebut paksa kemerdekaan diri dengan pasal-pasal yang bermasalah.
Berikut catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, berdasarkan draf RUU KUHAP terbaru per 13 November 2025, merinci pasal-pasal yang problematik tersebut.
Di Pasal 16, koalisi menyoroti bagaimana DPR dan pemerintah menyertakan elemen “pembelian terselubung” (undercover buy) serta “pengiriman di bawah pengawasan” (controlled delivery) ke dalam metode penyelidikan.
Sebelumnya, baik undercover buy maupun controlled delivery hanya dipakai untuk tindak pidana khusus, yakni narkotika, serta menjadi kewenangan penyidikan. Kini, keduanya bisa dipraktikkan ke semua jenis tindak pidana.
Perluasan itu, ungkap koalisi, “berpotensi membuka penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum guna menciptakan tindak pidana” lantaran sifatnya yang tidak diawasi hakim.
“Dan merekayasa siapa pelakunya yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana,” jelas koalisi dalam keterangan tertulisnya yang di kutip CINEWS, Kamis (20/11/2025).
Bergeser ke Pasal 5, koalisi menyebut “semua bisa kena jerat hukum melalui pasal karet dengan dalih mengamankan.”
Dalam KUHAP yang berlaku sekarang, tindakan yang dimungkinkan dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas—sama sekali tidak diperbolehkan menahan.
Tapi, di Pasal 5 RUU KUHAP “dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan bahkan penahanan,” tutur koalisi.
“Padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi,” jelas mereka.
Kritik yang mencolok dalam aspek penegakan hukum adalah lahirnya tindakan sewenang-wenang saat proses penangkapan serta penahanan. Praktiknya, proses penahanan, misalnya, sering kali ditempuh dengan durasi lebih panjang daripada yang sudah ditetapkan ketentuan: 1 kali 24 jam.
Di RUU KUHAP, “aspek penting tersebut sama sekali tidak diperbaiki,” terang koalisi.
Ditambah, skema penahanan dalam RUU KUHAP dibuat alternatif antara dengan surat perintah penahanan—oleh penyidik sendiri—atau lewat penetapan hakim.
Skema itu, kata koalisi, “terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan yudisial.”
Poin selanjutnya yakni peluang terjadinya penggeledahan, penyitaan, penyadapan, hingga pemblokiran yang didasarkan subjektivitas aparat.
Ihwal tersebut tercantum pada Pasal 105, 112A, 124, serta 132A. Aparat bisa mengambil tindakan penggeledahan hingga penyadapan tanpa harus memperoleh izin dari pengadilan selama alasan “keadaan mendesak” terpenuhi.
Akibatnya, ujar koalisi, “negara dapat memasuki ruang-ruang privat warga sipil dengan semakin leluasa,” berdalih “untuk mengusut tindak pidana.”
“Namun, tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya,” tambah koalisi.
“Akhirnya, celah-celah penyalahgunaan hingga pemerasan sangat mungkin bisa terjadi karena konstruksi aturan RUU KUHAP yang sedari awal bermasalah.”
Kemudian di Pasal 74A RUU KUHAP dijelaskan kesepakatan damai (diterjemahkan sebagai keadilan restoratif) pelaku dan korban dapat dilaksanakan sejak tahap penyelidikan. Koalisi menyatakan ketentuan itu memungkinkan lahirnya pemerasan sekaligus pemaksaan.
“Kesepakatan damai dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana. Hal ini sangat dipertanyakan. Bagaimana mungkin belum ada tindak pidana tapi sudah ada subjek pelaku dan korban?” tanya koalisi.
Selain itu, koalisi mengatakan, “hasil kesepakatan damai yang ditetapkan pengadilan hanya surat penghentian penyidikan,” sedangkan “penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas mana pun.” Aturan ini ditulis di Pasal 79. Koalisi menyebutnya “ruang gelap penyelidikan.”
Masih soal keadilan restoratif (restorative justice), koalisi berpandangan RUU KUHAP “gagal menjamin sistem checks and balances oleh pengadilan.”
Pasalnya, penetapan untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel belaka, “tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial.”
Lalu di Pasal 7 dan 8 dikatakan semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik khusus diletakkan di bawah koordinasi Polri, sehingga “menjadikan kepolisian lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar,” tegas koalisi.
Pasal-pasal yang menyangkut pemenuhan bantuan hukum, merujuk analisis koalisi, dipengaruhi “ancaman pidana.” Bantuan hukum, semestinya, “merupakan hak yang tidak melihat latar belakang kasus atau ancaman hukuman,” ucap koalisi.
Pasal-pasal bantuan hukum, di sisi yang lain, “terlihat ambigu yang menciptakan ketidakpastian hukum,” imbuh koalisi.
“Karena di satu sisi bantuan hukum diberikan sebagai kewajiban, tapi di sisi lain bantuan hukum dapat ditolak maupun dilepaskan,” sebut koalisi.
Tak ketinggalan, pasal-pasal dalam RUU KUHAP dituding “bersifat ableistik lantaran tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” terang koalisi.
Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan “secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum,” ungkap koalisi.
“Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention) karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan,” koalisi menjelaskan.
Koalisi turut mengkritik Pasal 99 RUU KUHAP yang memperlakukan mereka yang mengalami gangguan fisik dan mental berat “tidak setara dengan menambah durasi penahanan paling lama 60 hari.”
Pembahasan RUU KUHAP
Diketahui, proses penyusunan RUU KUHAP sejak awal tidak luput dari tekanan, terutama ihwal partisipasi publik yang bermakna. Pada Juli 2025, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP, sebanyak 1.676 poin, selesai dalam dua hari.
Terkait hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, mengatakan RUU KUHAP telah dibahas sejak lama, walaupun penuntasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hanya memakan waktu dua hari.
Saan juga menambahkan, perumusan RUU KUHAP mengajak banyak pihak untuk berpartisipasi.
“Jadi itu bukan waktu yang cepat. Cuma sudah berlangsung lama itu rapatnya, yang ini rapat-rapat berikutnya. Sebelum-sebelumnya sudah dilakukan,” terang Saan.
Mempertegas pernyataan Saan, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menuturkan masyarakat diperbolehkan menginap di Gedung DPR untuk memantau proses diskusi RUU KUHAP.
Dia mengaku bingung sehubungan dengan munculnya anggapan tahapan RUU KUHAP dijalankan secara tidak terbuka.
“Saya minta bisa enggak kawan-kawan menginap di sini? Bareng-bareng kalau, misalnya, sampai malam. Di atas atau di bawah juga enggak apa-apa. Silakan yang mau teman-teman mengikuti proses ini,” jelasnya.
Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP justru mengatakan sesuatu yang berlawanan.
Pada 19 Februari 2025, koalisi masyarakat sipil mengaku, pihaknya mengirim permohonan informasi publik untuk draf dan naskah akademik RUU KUHAP. Hasilnya: tidak ada balasan dan respons.
Dua bulan setelahnya, 8 April 2025, koalisi sipil menghadiri pertemuan tertutup, undangan dari Ketua Komisi III DPR RI. Pertemuan tersebut, terang koalisi sipil, “hanya membahas proses penyusunan tanpa masuk pembahasan substansi mengingat belum ada draf yang dipublikasikan DPR RI.”
Anehnya, koalisi sipil meneruskan, “pertemuan itu diklaim menjadi Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).”
Sebulan kemudian, 27 Mei 2025, koalisi menyampaikan masukan mengenai pembahasan DIM kepada DPR. Pertemuan itu, koalisi menyebut, tidak ditindaklanjuti, termasuk perihal catatan maupun saran yang ujung-ujungnya tidak diakomodir.
Sebelumnya, di luar masalah DIM, koalisi sipil turut menyoroti keberadaan draf RUU KUHAP yang lahir dalam secepat kilat. Pada awal Februari 2025, draf itu “muncul tiba-tiba,” ungkap koalisi, dan seketika disepakati “menjadi draf versi DPR pada awal Maret 2025.”
Koalisi memaparkan, terbaru, proses Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang 2025 cuma berjalan dua hari, tepatnya pada 12-13 November 2025. Pemerintah dan DPR mengaku “membahas masukan pasal yang diklaim dari masyarakat sipil.
Meski begitu, koalisi sipil menemukan bahwa pembacaan masukan atas pasal di forum itu “tidak akurat dan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal.”
Koalisi menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan pemerintah telah mengakomodir masukan.
DPR RI Menjawab Segala Tuduhan Dalam RUU KUHAP
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman menyampaikan klarifikasi untuk meluruskan isu-isu tersebut yang menurutnya membuat publik menolak pengesahan revisi KUHAP.
Habiburokhman mengklaim ada empat hoaks atau informasi bohong yang beredar luas di media sosial terkait RUU KUHAP.
“Terkait adanya hoaks atau berita bohong yang beredar sangat masif di sosial media yang intinya menyebutkan empat hal,” katanya Dalam rapat paripurna DPR.
- Penyadapan
Habiburokhman memaparkan hoaks yang paling banyak beredar adalah klaim bahwa kepolisian akan dapat melakukan penyadapan, merekam, atau mengakses perangkat digital seseorang tanpa batas dan izin pengadilan.
“Yang pertama, diam-diam menyadap, merekam, dan mengutak-atik alat komunikasi digitalmu tanpa batasan soal penyadapan sama sekali,” sebutnya.
Dia menegaskan Pasal 135 ayat (2) RUU KUHAP tidak mengatur teknis penyadapan, karena hal itu akan disusun dalam undang-undang tersendiri.
“Saat ini, kalau dari pembicaraan lintas fraksi di Komisi III, hampir semua fraksi, bahkan semua fraksi, menginginkan penyadapan itu nanti diatur secara sangat hati-hati dan harus dengan izin ketua pengadilan,” ungkapnya.
Hoaks berikutnya, menurut Habiburokhman, polisi dapat membekukan tabungan dan seluruh rekening digital masyarakat secara sepihak setelah RUU KUHAP disahkan.
Namun, pada draf yang diterima BBC News Indonesia, pasal yang dimaksud berbunyi mengenai pengembalian atau perampasan barang sitaan setelah perkara diputus—bahkan tidak memuat sama sekali ayat 2.
Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, berkata penjelasan Habiburokhman makin melegitimasi penyidik untuk bisa melakukan penyadapan tanpa batasan.
“Oke, penyadapan diatur lebih lanjut oleh undang-undang lain. Tapi, kita enggak bisa nunggu, kan, undang-undangnya kapan akan terbit? Dan selama undang-undang itu belum ada, kita enggak tahu batasannya apa,” ucap Maidina.
- Pemblokiran
Berdasarkan keterangan Habiburokhman, Pasal 139 ayat (2) justru mewajibkan pemblokiran dilakukan atas izin pengadilan.
“Kami perlu sampaikan bahwa menurut Pasal 139 ayat (2) KUHAP baru yang, insya Allah, ini akan disahkan, semua bentuk pemblokiran tabungan, data di drive, dan sebagainya, harus dilakukan dengan izin hakim, ketua pengadilan,” jelasnya.
Lebih lanjut, hoaks lain ialah polisi disebut bisa mengambil ponsel, laptop, dan data elektronik seseorang tanpa prosedur hukum.
Habiburokhman menyatakan seluruh tindakan penyitaan harus ada izin dari pengadilan.
Dari draf, Pasal 139 ayat (2) berhubungan dengan pemeriksaan surat dan mengatur penyidik harus memberikan tembusan berita acara pada kepala kantor pos atau perusahaan telekomunikasi dan ketua pengadilan negeri.
Maidina menyoroti pemblokiran tetap bisa dilakukan tanpa izin ketua pengadilan dengan catatan keadaan mendesak. Kriteria keadaan mendesak ini sangat mudah dipenuhi oleh aparat.
- Penyitaan
“Menurut Pasal 44 KUHAP baru yang akan kita sahkan, bahwa semua bentuk penyitaan itu harus dengan izin ketua pengadilan negeri. Jadi tidak benar,” katanya.
Habiburokhman turut membantah kritik yang mengatakan polisi dapat menempuh penangkapan, penggeledahan, hingga penahanan tanpa konfirmasi adanya tindak pidana.
Kali ini, menurut Maidina, Habiburokhman mengutip tepat. Persoalannya, pada Pasal 120, ketentuan “keadaan mendesak” muncul lagi untuk melegalkan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri.
“Alasannya keadaan mendesak itu juga sangat lentur di sini,” tegas Maidina.
“Misalnya, tersangka berpotensi merusak, menghilangkan barang bukti, atau asetnya mudah dipindahkan. Syarat seperti ini kemudian, berdasarkan pendalaman penyidik, bisa dengan mudah untuk dikriminalisasi.”
- Penangkapan dan Penahanan
“Hoaks keempat, polisi bisa menangkap, melarang meninggalkan tempat, menggeledah, bahkan melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana. Hal ini juga tidak benar,” cetus Habiburokhman.
Pasal 93 dan Pasal 99 RUU KUHAP, Habiburokhman bilang, sudah mengatur secara ketat bahwa tindakan tersebut mesti dilakukan secara hati-hati dan didasarkan pada minimal dua alat bukti.
Pada faktanya, Maidina menjelaskan, pasal-pasal tersebut memuat kewenangan Polri yang berlebihan lantaran PPNS dan penyidik tertentu hanya bisa menangkap serta menahan sepanjang ada perintah dari penyidik Polri.
“Ini masalah paling besar. Di penyelidikan sudah ada penahanan,” tandas Maidina.
Eksplorasi konten lain dari CINEWS.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

