Jakarta, CINEWS.ID – Di tengah pesatnya transformasi digital dan kemudahan transaksi, kini Indonesia menghadapi tantangan besar di sektor keuangan dimana ancaman penipuan digital atau scam kian mengintai masyarakat. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut kondisi saat ini sebagai ‘darurat penipuan digital’ lantaran ribuan laporan masuk setiap harinya.
OJK terus memperkuat langkah kolaboratif bersama Satgas Penanganan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) dalam memerangi maraknya praktik keuangan ilegal yang merugikan masyarakat.
Kepala Departemen Perlindungan OJK Rudy Agus Purnomo Raharjo mengungkapkan, sejak berdirinya Indonesia Anti Scam Center (IASC) pada November 2024 hingga akhir September 2025, tercatat rata-rata 874 laporan kasus penipuan digital per hari.
“Penipuan di kita itu, ini sudah menurut saya sudah waspada gitu, waspada scam. Sudah darurat scam, darurat penipuan. Bayangin aja, setiap hari kalau tadi kita lihat itu sudah 900-1.000 orang yang lapor ke IASC,” katanya dalam media gathering pada Ahad (19/10/2025).
IASC mencatat total laporan yang diterima mencapai 299 ribu kasus, dengan lebih dari 487 ribu rekening mencurigakan yang teridentifikasi dan sebanyak 94.344 rekening telah diblokir sebagai tindak lanjut atas laporan tersebut.
Dalam upaya represif, OJK bersama Satgas PASTI telah menghentikan aktivitas 1.840 entitas keuangan ilegal, terdiri dari 1.556 pinjaman online ilegal dan 284 investasi bodong yang beroperasi melalui berbagai platform digital.
Hingga kini, Satgas PASTI juga menerima 17.531 pengaduan masyarakat, di antaranya 13.999 laporan terkait pinjaman online ilegal dan 3.532 laporan terkait investasi ilegal.
Selain itu, OJK mencatat kerugian masyarakat akibat scam mencapai Rp7 triliun dalam periode 22 November 2024 hingga 16 Oktober 2025. Meski demikian, sekitar Rp376,8 miliar di antaranya berhasil diblokir sebagai hasil tindak lanjut dan kerja sama dengan lembaga perbankan serta otoritas penegak hukum.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menuturkan, dibandingkan negara lain, frekuensi laporan scam di Indonesia termasuk tinggi di mana dalam periode 22 November 2024 hingga 30 September 2025, tercatat 274.722 laporan dengan rata-rata 874 kasus per hari.
“Nah ini nilai kerugiannya ya, memang seperti di Singapura itu dia laporannya mungkin seperlimanya dari kita, tapi angka kerugiannya jauh lebih besar, di kita Rp6,1 triliun per hari tadi sudah Rp7 triliun. Terus rata laporan nih, teman-teman bisa lihat nih rata laporan, di Indonesia itu 874 laporan per hari, ini sudah luar biasa dibandingkan dengan negara lain yang kebanyakan ya, 140 per hari, 115 per hari dan seterusnya,” tuturnya.
Friderica menjelaskan, secara nominal, kerugian Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Singapura atau Hong Kong.
Dia mencontohkan seperti Singapura, meski hanya mencatat sekitar 51.501 laporan, nilai kerugian yang ditanggung negara tersebut jauh lebih besar, yakni Rp13,97 triliun, dengan rata-rata 140 laporan per hari.
Sementara Hong Kong, sepanjang 2024 hingga Juni 2025, terdapat 65.240 laporan penipuan keuangan, dengan total kerugian sekitar Rp27,01 triliun dan dana yang berhasil diselamatkan sebesar Rp4,84 triliun. Rata-rata laporan di negara tersebut adalah 115 per hari.
Sedangkan Kanada, tercatat 138.197 kasus, dengan nilai kerugian mencapai Rp15,21 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp325 miliar dana berhasil diblokir dan menerima sekitar 217 laporan setiap hari.
Bangun Ketahanan Finansial lewat Literasi dan Inklusi
Selain penegakan hukum, OJK menempatkan edukasi dan literasi keuangan sebagai strategi utama dalam meminimalisir kerugian masyarakat. Melalui program tahunan Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2025, menegaskan pentingnya akses keuangan yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Program ini menjadi upaya OJK dalam mendorong masyarakat agar lebih melek finansial dan memiliki akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan formal.
Friderica menyampaikan, inklusi keuangan merupakan salah satu kunci dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Menurutnya, hal ini diwujudkan melalui peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan terhadap produk serta layanan keuangan formal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Pada intinya inklusi keuangan ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan juga ketimpangan pendapatan dengan berupaya memastikan aksesibilitas, keterjangkauan atas produk dan layanan keuangan formal bagi setiap individu,” terangnya.
Dia menjelaskan, tingkat literasi keuangan nasional saat ini mencapai 66,46 persen, sementara inklusi keuangan berada di angka 80 persen.
Namun, pemerataan masih menjadi tantangan utama, terutama di wilayah pedesaan dan daerah terpencil.
Untuk mengatasinya, OJK menggandeng berbagai pihak, termasuk Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), perguruan tinggi, serta komunitas lokal.
Di Purwokerto, misalnya, telah dibentuk Tim Sobat Literasi Keuangan yang melibatkan 25 relawan dari kalangan mahasiswa dan komunitas. Dalam dua bulan, tim ini telah menggelar 56 kegiatan edukatif dan menjangkau lebih dari 2.500 peserta.
Selain itu, OJK juga memiliki program Desa Inklusi Keuangan Inklusif (IKI) di beberapa wilayah seperti Banyumas, Purbalingga, dan Purwokerto, guna memperkuat akses masyarakat desa terhadap layanan keuangan formal.
Selain melawan keuangan ilegal, OJK juga berupaya membuka jalan bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar dapat menikmati akses pembiayaan yang sehat dan adil. Salah satunya melalui kerja sama dengan BP Tapera, untuk membantu lebih dari 100.000 calon debitur yang terkendala sistem SLIK dalam pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Friderica menegaskan bahwa SLIK tidak boleh dijadikan satu-satunya acuan bagi bank dalam menilai kelayakan kredit.
Dia juga menjelaskan bank tetap diperbolehkan memberi pinjaman meski terdapat indikasi tidak lancarnya kolektivitas dari nasabah terkait.
“Artinya ada kolektivitas yang nggak lancar itu kalau bank mau ngasih silahkan aja. Tetap dengan manajemen risiko yang sudah diperhitungkan oleh mereka. Jadi sudah ada himbauan yang sudah sangat jelas bahwa itu bukan penentu, jadi itu semua dikembalikan kepada perbankannya,” ujarnya.
Selain itu, OJK juga menantang Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) agar memberikan pembiayaan dengan bunga yang lebih rendah dan proses yang lebih cepat dibandingkan pinjaman ilegal.
Langkah ini diharapkan menjadi solusi agar masyarakat tidak terjerat praktik rentenir atau pinjol ilegal.
Sinergi untuk Indonesia yang Lebih Cerdas Finansial
Upaya simultan antara penegakan hukum terhadap keuangan ilegal dan peningkatan literasi serta inklusi keuangan menunjukkan arah kebijakan yang semakin terintegrasi antara OJK, lembaga keuangan, dan masyarakat dalam memerangi keuangan ilegal serta membangun ekosistem keuangan yang sehat.
Melalui langkah ini, OJK berkomitmen menciptakan masyarakat yang lebih terlindungi, lebih cerdas secara finansial, dan lebih berdaya dalam mengelola keuangan pribadi.
Friderica menambahkan, langkah ini merupakan implementasi dari Undang-Undang OJK serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Dia menegaskan, tidak hanya OJK, tetapi seluruh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) juga memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi dan literasi keuangan secara luas di berbagai daerah.
“Jadi tidak semua produk keuangan itu cocok untuk semua orang jadi harus dikembalikan kepada individu itu sendiri. Jadi itulah kenapa kita melakukan edukasi literasi dan bagaimana inklusi keuangan itu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Eksplorasi konten lain dari CINEWS.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

