LMND Bali Mendesak Pemerintah Daerah Menggeser Lokasi Pembangunan FSRU, Ini Alasannya

Pembangunan proyek floating storage regasification unit (FSRU) atau gudang apung penyimpanan liquefied natural gas (LNG) hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai. (Istimewa)

Denpasar, CINEWS.ID – Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Bali mendesak pemerintah daerah setempat untuk menggeser lokasi pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) di perairan Sidakarya, Denpasar ke wilayah lainnya.

LMND Bali menilai, bahwa pembangunan FSRU di perairan Sidakarya, Denpasar itu selama ini telah menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Pasalnya, Selain mengancam ekosistem pesisir dan laut yang menjadi sumber kehidupan bagi nelayan dan masyarakat adat setempat, keberadaan FSRU di perairan Sidakarya juga berpotensi merusak situs-situs sakral yang selama ini dijaga dan dihormati sebagai bagian dari identitas kultural Bali.

“Di tengah wacana transisi energi yang mestinya berkeadilan dan berbasis kerakyatan, proyek
FSRU ini justru mencerminkan pendekatan top-down yang abai terhadap suara rakyat,
keberlanjutan lingkungan, dan hak-hak komunitas lokal. Oleh karena itu, penolakan terhadap proyek ini bukan semata-mata sikap emosional, melainkan bentuk tanggung jawab kolektif dalam menjaga ruang hidup, warisan budaya, dan arah pembangunan Bali yang adil serta berdaulat,” kata Ketua LMND Bali, I Made Dirgayusa dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (4/7/2025).

Made Dirgayuda menyampaikan, LMND Bali juga merekomendasikan 3 skema terbaik untuk menyelesaikan polemik yang ada terkait rencana pembangunan FSRU LNG di perairan Sidakarya tersebut.

Adapun tiga skema yang direkomendasi LMND Bali adalah, pertama menggeser Lokasi FSRU Sidakarya 10 Kilometer dari daratan yang semula direncanakan hanya berjarak kurang lebih 500 Meter dari daratan.

“Dari analisis kami terhadap rencana pembangunan FSRU LNG di lepas pantai Sidakarya, setidaknya akan menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Di antara beberapa dampak yang kami analisis setidaknya ada dua dampak yang harus menjadi perhatian serius yakni keamanan dan kenyamanan serta sosial ekonomi,” paparnya.

Menurutnya, dari sisi keamanan dan kenyamanan, perlu menjadi perhatian khusus, lantaran lokasi FSRU yang direncanakan hanya berjarak kurang lebih 500 Meter dari daratan (Tahura Ngurah Rai) dan sekitar kurang lebih 500-700 Meter dari pemukiman padat penduduk di Desa Adat Serangan.

“Melalui ANDAL yang kami dapat dan analisa, ANDAL proyek tidak memenuhi standar internasional (COMAH no. 16) dalam mengantisipasi risiko domino effect (Faktor Eksternal). Apabila skema terburuk kecelakaan terjadi karena faktor eksternal di luar sistem keamanan FSRU, maka penduduk yang tidak bersalah akan menjadi korban pun dalam kehidupan sehari-hari akan dihantui rasa khawatir oleh karena FSRU sangat dekat dengan ruang hidup penduduk, terutama warga Desa Adat Serangan,” tandasnya.

Selain itu, dari sisi sosial ekonomi, kehadiran FSRU di lokasi yang direncanakan akan memberi pukulan hebat bagi masyarakat dalam sisi mata pencaharian hidup. Proses pembangunan yang memerlukan pengerukan (dredging) diyakini akan memberi dampak sedimentasi dan mempengaruhi tingkat kekeruhan perairan sekitar.

“Tentunya akan mempengaruhi habitat fauna laut, yang akan berdampak kepada hasil tangkap nelayan. Mengingat pemukiman terdekat adalah Desa Serangan yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan pesisir yang umumnya melaut di perairan pesisir, maka akan memaksa mereka lebih jauh untuk mendapat tangkapan atau bahkan memaksa mereka untuk tidak melaut kembali,” ujarnya.

Selain itu, menurut Made Dirgayuda ,lokasi FSRU yang direncanakan juga akan memberikan dampak terhadap industri pariwisata yang ada di sekitar lokasi. Secara tidak langsung akan mempengaruhi preferensi wisatawan untuk menghindari lokasi wisata yang berdekatan
dengan sebuah FSRU berukuran kurang lebih 300 Meter.

“Maka dari itu apabila Pengembang tetap memaksakan lokasi FSRU tetap tidak jauh dari lokasi yang direncanakan, akan lebih bijak menggesernya 10 KM ke tengah laut. Menimbang dampak-dampak yang akan ditimbulkan kepada masyarakat sekitar di atas,” Ia menambahkan.

Tidak hanya menggeser lokasi FSRU menjadi 10 kilometer dari daratan, LMND Bali juga merekomendasikan agar lokasi FSRU dipindahkan ke wilayah perbatasan Denpasar-Gianyar atau ke wilayah Celukan Bawang.

“Melihat rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di lokasi perbatasan
Denpasar-Gianyar, maka akan lebih tepat pembangunan FSRU LNG didorong di lokasi yang berdekatan dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) agar supply kebutuhan LNG-nya dapat segera terpenuhi, karena untuk PLTG Pesanggaran, selama ini telah disuplai oleh FSRU Karunia Dewata yang berada di Pelabuhan Benoa sejak 2016 dan mampu untuk mencukupi kebutuhan pembangkit di Pesanggaran, jika pun ada kebutuhan. tambahan akibat dibangunnya pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di Denpasar pada tahun
2026 bisa dibuatkan jaringan pipa gas baru jika supply LNG dari FSRU Karunia Dewata yang berada di Pelabuhan Benoa tidak mencukupi,” ungkap Made Dirgayusa.

Selain itu, pemindahan lokasi FSRU LNG dari perairan Sidakarya ke Celukan Bawang juga dinilai merupakan langkah logis dan strategis yang mengedepankan prinsip efisiensi, keamanan lingkungan, dan integrasi sistem kelistrikan jangka panjang.

“Celukan Bawang telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan PLTG 2×450 MW berbasis gas alam (LNG) yang akan beroperasi mulai 2029-2030 (RUPTL PLN). Artinya, kebutuhan akan pasokan LNG yang stabil dan infrastruktur pendukung sudah menjadi bagian integral dari skema pembangunan energi nasional dan regional di kawasan tersebut,” pungkasnya.

Editor: Mukmin Junaidi