Putusan MK Mengenai Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Tuai Polemik

Ilustrasi pemilu 2029.

Jakarta, CINEWS.ID – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal tidak bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945. Hal itu disebut telah menjadi salah satu pertimbangan yang diuji oleh para hakim MK.

Menurut Enny, pemisahan Pemilu Pusat dan Lokal tersebut sejalan dengan keputusan MK sebelumnya No.55/PUU-XVII/2019 yang memuat tentang berbagai macam desain keserentakan pemilu.

 

“Dalam putusan No.55/PUU-XVII/2019 tersebut, MK telah menegaskan model keserentakan yang dapat ditentukan oleh pembentuk UU, termasuk salah satu modelnya adalah pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal,” kata Enny dalam keterangannya pada, Selasa (1/7/2025).

Enny mengatakan, berkaca pada pemilu serentak pada 2019 dan 2024 yang meninggalkan berbagai catatan evaluasi, pemisahan pemilu Nasional dan Lokal penting dilakukan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, meningkatkan kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik

“Dengan melihat praktik penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang berlangsung 2019 dan 2024, maka sebagai upaya mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis ke depan dengan tetap menjaga keserentakan pemilu, maka pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi hal yang konstitusional,” ungkap Enny.

Namun demikian, Enny juga menekankan, pemisahan pemilu ini tidak akan mengubah jadwal pemilu lima tahunan sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, tetapi lebih kepada pengaturan jadwal pelaksanaan pemilu yang tidak dilakukan secara serentak.

“Dalam kajian ini, tidak ada pelanggaran terhadap Pasal 22E UUD NRI 1945 terkait pemilu setiap 5 tahun sekali karena MK juga menegaskan agar pembentuk UU melakukan ‘constitutional engineering’ terkait dengan peralihannya,” jelas Enny.

Enny menuturkan, putusan MK harus ditindaklanjuti oleh DPR. Di sisi lain, putusan tersebut memuat rekayasa konstitusi atau (constitutional engineering) sebagai sebagai petunjuk bagi DPR agar proses legislasi yang dibuat untuk menindaklanjuti putusan MK di masa transisi, tidak keluar dari kerangka yang sudah diputuskan.

“Sebagaimana misalnya ketentuan peralihan yang pernah diatur dalam UU pilkada yang lalu untuk kepentingan pilkada serentak. Constitutional engineering dimaksud hanya untuk satu kali pemilihan sebagai konsekuensi masa transisi,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat (Rerie) menyebut putusan MK yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan lokal mulai tahun 2029 merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.

Menurutnya, pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota melanggar UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional.

Ia juga menyatakan, bahwa putusan MK tentang pemisahan pemilu bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.

“Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata Rerie di NasDem Tower pada, Senin (30/6/2025).

Hal serupa juga diungkapkan Wakil Ketua Umum PAN Eddy Soeparno. Menurutnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemilu nasional dan lokal digelar terpisah, MK telah melampaui kewenangan.

“Memang kan semestinya MK itu tidak membuat ketentuan atau legislasi baru,” kata Eddy saat dihubungi, Selasa (1/7/2025).

Eddy mengatakan MK telah bertindak di luar tugasnya sebagai penjaga konstitusi dengan mengeluarkan ketentuan atau legislasi baru.

“Yang bisa dilakukan MK adalah negatif legislature, yaitu menyatakan sebuah pasal atau sebuah ketentuan dalam UU itu apakah sah berdasarkan konstitusi atau tidak, Hanya itu saja,”ujarnya.

Eddy mengatakan, pelaksanaan legislasi itu sepenuhnya ada di tangan pemerintah dan DPR. Namun, yang terjadi saat ini, MK membuat ketentuan hukum baru dengan mendetailkan bahwa pelaksanaan Pemilu lokal harus dilaksanakan antara dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional.

Menurut Eddy, putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi bagi masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota. Ia mengatakan mereka telah dilantik untuk lima tahun hingga 2029.

Dengan adanya putusan MK, pemilihan kepala daerah dan DPRD dilaksanakan pada 2031. Jeda waktu dari selesai masa jabatan hingga hari pemilihan tersebut harus memiliki landasan hukum.

“Ini bentuk landasan hukum yang kemudian dibuat untuk membenarkan atau legislasi untuk menguatkan keputusan ini harus bentuknya revisi UU Pemilu maupun UU Pilkada. Nah, ini yang sedang kami pelajari,” pungkasnya.

Hal serupa juga diungkapkan Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan. Ia menilai putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah. Dia menyebut bahwa putusan MK itu menyalahi aturan UUD 1945.

“Putusan MK itu salah. Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 secara tekstual dan eksplisit menentukan pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan salah satunya adalah untuk memilih anggota DPRD,” kata Irawan dalam keterangannya.

Menurut Irawan, putusan MK yang dianggap salah memang seharusnya dikritik meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, kritik terhadap putusan yang dianggap keliru merupakan bagian dalam sistem hukum.

“Kita tidak bisa lagi basa-basi bahwa putusan MK final dan binding yang harus kita hormati dan laksanakan,” ucapnya.

Begitu pun Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cucun Ahmad Syamsurijal, Dia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah atau lokal melanggar konstitusi. Sebab, putusan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Bahwa putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan di kita lima tahun sekali. Ya tinggal kembalikan, nanti publik kan bisa memahami. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Pasal 22 E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menyebutkan bawah pemilu dilaksanakan dalam waktu lima tahun sekali. Aturan ini juga menjelaskan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sementara, ada putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 ini terdapat perubahan bahwa pemilu 2029 bisa terundur hingga 2031. Artinya, keputusan ini juga bisa menimbulkan tafsir baru bahwa putusan ini melanggar konstitusi.

“Kalau MK penjaga konstitusi, jagalah konstitusi ya. Kalau konstitusinya misalkan mengatur pemilu 5 tahun, ya harus konsisten dong dijaga pemilu 5 tahun,” ujar Cucun.

Menurut Cucun, PKB masih menunggu keputusan bersama antar partai di DPR. Partai-partai akan berkumpul untuk menentukan sikap terhadap putusan MK ini.

Sementara, Partai Demokrat belum bersikap terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah atau lokal. Partai berlogo bintang mercy itu memilih menunggu momentum pertemuan antara partai untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

“Kita kan saat ini masih menunggu pertemuan antar partai-partai, apapun output-nya,” kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Wakil Ketua Komisi II DPR itu mengatakan perlu menyiapkan opsi-opsi, khususnya ketika putusan MK itu diterapkan di revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Demokrat dipastikan akan menyampaikan pandangannya perihal menyikapi pemilu terpisah.

“Belum boleh disampaikan saat ini. Karena opsi itu adalah langkah yang kita lakukan jika keputusan akhirnya nanti ada beberapa lah. Dan itu kan strategi tentu, itu strategi partai kami tentunya,” ujar Dede.

Editor: M. Ibnu Ferry