Menurut Harli, KUHP lama yang merupakan warisan kolonial tidak secara spesifik mengatur delik-delik terkait aktivitas pers. Hal ini kerap menimbulkan tafsir yang beragam dan tumpang tindih dengan undang-undang (UU) sektoral lain seperti UU Pers.
“KUHP baru sebagai produk legislasi nasional berusaha mengakomodasi dinamika sosial dan teknologi saat ini, termasuk aspek-aspek yang berkaitan dengan pers,” kata Harli saat memberikan sambutan dalam acara ‘Coaching Klinik Hukum untuk Jurnalis: Memahami Delik Pers dalam KUHP Baru’ yang diselenggarakan Kapuspenkum Kejagung di Jakarta, Senin (30/6/2025).
“Tujuannya adalah bagaimana menciptakan kepastian hukum dan memberikan rambu-rambu yang jelas bagi para pelaku pers” imbuhnya.
Harli menjelaskan, meski KUHP baru tidak memuat pasal khusus soal delik pers, namun terdapat beberapa pasal yang berpotensi diterapkan dalam aktivitas jurnalistik.
Di antaranya adalah pasal terkait pencemaran nama baik dan fitnah (Pasal 310 dan 311), serta penyebaran berita bohong atau hoaks (Pasal 263 dan 264).
“Ini juga bisa menjadi perhatian serius bagi pers untuk selalu memastikan akurasi dan klarifikasi informasi yang diperoleh,” katanya.
Ia juga menyoroti Pasal 265 yang mengatur penyebaran informasi bohong terkait harga barang atau kurs mata uang.
Menurutnya, hal ini menjadi perhatian baru bagi insan pers agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi.
“Karena mungkin kalau kita bilang mata uang kita tidak lagi cukup kuat di pasaran padahal itu tidak berdasarkan fakta dan itu tidak berdasarkan klarifikasi dengan berbagai narasumber yang tepat, nah ini bisa membuat chaos di masyarakat,” jelasnya.
Editor: Fitriyadi |