Jakarta, CINEWS.ID – Anggota Komisi IX DPR Nurhadi mengkritik paket insentif ekonomi dalam bentuk bantuan subsidi upah (BSU) yang diumumkan pemerintah pada 2 Juni lalu.
Menurut Nurhadi, program BSU 2025 itu masih menyisakan persoalan lantaran penyalurannya hanya ditujukan kepada peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan hingga April 2025.
Alhasil, pekerja informal tak akan mendapatkan BSU karena mereka tak terdaftar sebagai anggota BPJS Ketenagakerjaan.
“Fakta di lapangan, masih banyak pekerja dengan penghasilan rendah yang belum terdaftar atau bahkan kesulitan mengakses BPJS Ketenagakerjaan karena berbagai kendala ekonomi, terutama pekerja informal dan sektor mikro,” kata Nurhadi dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Senin (9/6/2025).
Sebelumnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menetapkan syarat penerima BSU tahun 2025 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2025.
Mereka yang berhak mendapatkan BSU ini syaratnya, Pertama Warga Negara Indonesia (WNI). Kedua, peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, pegawai dengan gaji atau upah maksimal Rp3,5 juta per bulan.
Keempat, bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, atau anggota Polri. Terakhir, tidak sedang menerima bantuan sosial lainnya.
Program BSU 2025 dikucurkan pemerintah untuk membantu pekerja atau buruh dalam menjaga daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Total anggaran yang digelontorkan untuk program BSU Bantuan Subsidi Upah tahun ini mencapai Rp10,72 triliun.
BSU 2025 akan diberikan sebesar Rp300.000 per bulan selama dua bulan, yaitu Juni dan Juli 2025. Namun, bantuan ini akan disalurkan sekaligus sebesar Rp600.000 pada Juni 2025.
“Pembatasan penerima BSU 2025 berpotensi menyisakan kelompok pekerja paling rentan di luar jangkauan bantuan. Padahal, mereka yang sebenarnya sangat membutuhkan dukungan ekonomi justru terancam gagal menerima bantuan, karena belum terdaftar di BPJS,” tegas Nurhadi.
Nurhadi juga menyoroti juga fenomena banyaknya perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS. Oleh karena itu, syarat penerima BSU dengan kepemilikan BPJS Ketenagakerjaan dinilai kurang tepat.
“Belum lagi ancaman PHK, jika tak punya BPJS Ketenagakerjaan, karyawan yang bahkan mengabdi puluhan tahun juga tak menerima upah atau pesangon,” jelasnya.
Di sisi lain, Nurhadi pun mendorong mekanisme penyaluran BSU sekaligus sebesar Rp600.000 harus diiringi, dengan sistem pengawasan yang ketat agar bantuan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan. Namun, yang paling penting perlu adanya terobosan agar akses kepesertaan BPJS dan program perlindungan sosial lain dapat diperluas, termasuk bagi pekerja informal yang selama ini sulit dijangkau.
Lebih lanjut, Nurhadi menilai program stimulus ekonomi semacam BSU tentu penting, namun tidak boleh menjadi solusi parsial yang hanya menguntungkan sebagian kecil pekerja. Menurutnya, Pemerintah harus serius mengevaluasi dan memperbaiki sistem, agar bantuan sosial benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan, tanpa terkecuali.
Menurut Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR itu, jaminan sosial ketenagakerjaan bukan hanya untuk pekerja kantoran saja. Nurhadi menyebut, jaminan ketenagakerjaan juga merupakan hak bagi semua tenaga kerja di berbagai bidang.
“Kami di Komisi IX DPR RI terus mendorong agar pekerja sektor informal bisa mendapatkan perlindungan yang layak melalui BPJS Ketenagakerjaan. Jangan sampai pekerja kita tidak terlindungi ketika mengalami kecelakaan kerja atau saat memasuki usia tua,” jelas Nurhadi.
Editor: Agus Kuswandi |