Jakarta, CINEWS.ID – Insiden longsor yang terjadi di kawasan Gunungkidul Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Jabar) merenggut 21 nyawa pekerja tambang menjadi sorotan kalangan Dewan.
Anggota Komisi III DPR RI Abdullah menilai, peristiwa itu menunjukkan lemahnya sistem pengawasan penegakan hukum di bidang pertambangan. Ia meminta pejabat daerah yang melakukan pembiaran tambang ilegal di wilayah tersebut diusut tuntas.
Menurut Abdullah, aktivitas tambang ilegal yang telah dilarang sejak awal tahun 2025 itu seharusnya tidak lagi berlangsung. Namun kenyataannya, aktivitas tambang tersebut tetap berjalan hingga akhirnya memakan korban jiwa.
“Ini bukan cuma soal satu-dua orang lalai. Yang terjadi di Gunung Kuda menunjukkan betapa lemahnya otoritas dalam menegakkan aturan di lapangan. Kalau aktivitas tambang sudah dilarang sejak Januari dan Maret 2025, lalu kenapa tetap beroperasi sampai Mei dan memakan korban?,” kata Abdullah, Kamis (5/6/2025).
Abdullah pun menyoroti proses hukum yang saat ini hanya menargetkan pelaku di lapangan. Menurutnya, penanganan hukum harus menyasar seluruh pihak yang terlibat, termasuk pejabat daerah dan aparat pengawas yang diduga melakukan pembiaran.
“Kalau ada aparat atau pejabat yang tahu tapi membiarkan, itu harus diproses juga. Jangan cuma pengusaha tambang yang dikorbankan, sementara yang mestinya menjaga malah cuci tangan,” tegasnya.
Politikus PKB ini juga menekankan pentingnya menjaga prinsip keadilan dalam penegakan hukum. Ia menyebut ketimpangan dalam proses hukum bisa merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Kita tidak sedang bicara tambang legal atau ilegal saja. Kita bicara tentang nyawa orang, tanggung jawab negara, dan integritas aparat hukum. Hukum tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas. Itu prinsip yang harus dijaga,” kata Abduh.
Karena itu, anggota Komisi Hukum DPR itu mendorong Pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sektor pertambangan. Khususnya, kata Abduh, terkait perizinan dan mekanisme pengawasan.
“Kita butuh reformasi pengawasan tambang. Kalau model sekarang dibiarkan, kasus seperti Gunung Kuda bisa terulang di daerah lain,” jelasnya.
“Jangan sampai korban nyawa jadi rutinitas karena sistem yang rusak tapi tak diperbaiki,” kata Abduh.
Abduh juga menyampaikan belasungkawa kepada para korban longsor di Gunung Kuda, Cirebon. Ia menilai perusahaan harus bertanggung jawab penuh terkait insiden ini.
“Pihak perusahaan tambang harus memberikan pertanggungjawaban, termasuk kompensasi bagi keluarga pekerja yang menjadi korban,” pungkas Abduh.
Insiden longsor di area tambang batu alam Gunung Kuda itu terjadi pada Jumat, 30 Mei. Sekitar pukul 10.00 WIB, tebing tambang tiba-tiba runtuh, menimbun para pekerja yang tengah menjalankan aktivitas penambangan. Musibah ini terjadi di kawasan dengan kontur lereng sangat curam dan kondisi geologis yang rapuh akibat proses pelapukan.
Sebanyak 21 orang meninggal dunia dan 4 orang lainnya masih dalam proses pencarian. Aktivitas penambangan diketahui menggunakan teknik yang memperlemah struktur lereng dan memperparah risiko bencana.
Polisi menetapkan 2 tersangka yakni Ketua Koperasi Al-Azariyah berinisial AK selaku pemilik tambang dan Kepala Teknik Tambang AR yang bertugas sebagai pengawas operasional di lapangan.
Keduanya terbukti tetap menjalankan kegiatan pertambangan, meski telah menerima surat larangan dari Dinas ESDM setempat. Larangan itu diterbitkan pada 8 Januari 2025 dan diperkuat dengan surat peringatan kedua pada 19 Maret 2025, karena kegiatan tambang belum mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Reporter: Fitriyadi |
Editor: Jajang Suryana |