Tangerang, CINEWS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mewajibkan pemerintah menjamin pendidikan dasar kepada seluruh siswa yang ada di Indonesia. Dan hal tersebut berlaku sama bagi sekolah swasta dengan menggratiskan pembiayaan pembayaran sama seperti SD Negeri yang ada di Indonesia.
Putusan tersebut masih pro-kontra di kalangan masyarakat karena sebagian dari yayasan sekolah swasta mengaku bahwa mereka keberatan dengan kebijakan tersebut lantaran nantinya mereka akan kekurangan dan juga belum mencukupi untuk pembiayaan operasional.
Salah satunya Madrasah Ibtidaiyah Mishabun Nasyiin yang berada di Tangerang, Pihak sekolah menyatakan tidak mengikuti program sekolah gratis dari Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang. Mereka mengaku kekurangan untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah bila harus mengikuti program itu.
“Pada dasarnya ini bagaikan buah simalakama. Karena kalau kami dari swasta, seluruh guru yang ada di sekolah adalah guru nonPNS dan bukan P3K. Jadi kami keberatan karena terlalu banyak yang harus kami tanggung,” kata Kepala Sekolah (Kepsek) Misbahun Nasyiin Nurrobbiana dikutip, Rabu (4/6/2025).
“Sebelumnya ada itu seperti BNP, cuma kami tidak mengambil BNP karena setelah kami hitung-hitung itu kurang untuk kami memenuhi kebutuhan di sekolah dari honor guru, dari apa hal-hal yang lainnya maka kami tidak mengambil BNP. Oleh karena itu, kami tetap memungut bayaran sesuai dengan yang ditetapkan di sekolah kami,” imbuhnya.
Nur mengatakan, pihaknya akan mengkaji lebih dahulu kebijakan penggratisan sekolah swasta itu.
“Kami akan kaji dahulu. Sampai sekarang itu belum ada keputusan pemerintah atau presiden. Itu kan baru MK saja. Kami menunggu instruksi dari Presiden,” jelasnya.
Senada, Yayasan Yasri Purwakarta yang menaungi SDIT dan SMP IT Cendekia juga menyatakan keberatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan dasar baik di sekolah negeri maupun swasta.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Yasri, Agus Muharam, menilai, kebijakan ini perlu dikaji ulang. Menurutnya tidak adil jika diberlakukan secara menyeluruh tanpa mempertimbangkan perbedaan sistem dan pembiayaan antara sekolah negeri dan swasta.
“Kami adalah sekolah swasta yang secara mandiri membangun kualitas pendidikan dan fasilitas terbaik untuk siswa. Jika kebijakan ini diterapkan tanpa dukungan penuh dari pemerintah, tentu akan mengganggu operasional kami,” kata Agus saat ditemui wartawan di SDIT Cendekia, Kelurahan Nagri Kaler, Kecamatan/Kabupaten Purwakarta pada, Kamis (29/5/2025).
Agus mencontohkan sejumlah fasilitas unggulan di sekolah yang dikelola yayasannya seperti ruang kelas ber-AC, infocus, hingga smart board yang menunjang kenyamanan dan efektivitas pembelajaran.
Semua fasilitas tersebut, kata dia, membutuhkan biaya operasional tinggi mulai dari listrik hingga perawatan rutin.
Tak hanya itu, ia juga menekankan beban kerja ekstra tenaga pendidik dan staf sekolah yang selama ini ditopang oleh iuran bulanan dari orang tua siswa.
“Para guru kami bahkan memiliki jadwal tambahan membangunkan siswa untuk salat Subuh dua kali seminggu, bahkan mengajar hingga sore hari untuk pendidikan ekstra. Tenaga kebersihan dan administrasi juga digaji dari dana orang tua. Kalau sekolah digratiskan, apakah pemerintah siap menanggung semua itu?,” jelasnya.
Putusan MK Tidak Bermaksud Melemahkan Sekolah Swasta
Sebelumnya, Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian mengatakan, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggratiskan biaya SD dan SMP tidak bermaksud untuk melemahkan pendidikan swasta.
“Saya kira ini bukan untuk melemahkan partisipasi swasta, apa lagi menghilangkannya sama sekali,” kata anggota Fraksi Partai Golkar itu di Gedung Kemendikti Saintek Jakarta, Senin (2/6/2025).
Karena menurutnya, sekolah swasta sudah memiliki sejarah panjang di dunia pendidikan Indonesia. Selama ini sekolah negeri maupun swasta mendapatkan dukungan dalam bentuk operasional sekolah (BOS). Masing-masing sekolah, baik negeri maupun swasta, mendapat besaran dana BOS yang sama.
Dan sekolah swasta pun terbagi ke dalam beberapa tipe. Dijelaskannya, sejumlah sekolah swasta yang dinilai premium bisa dikecualikan dari peraturan ini. Sedangkan sekolah-sekolah swasta di daerah pedalaman atau 3T (tertinggal, terdepan, terluar) justru harus ditambah anggarannya.
“Sekolah-sekolah seperti ini mungkin hanya tergantung kepada dana BOS sehingga pelayanannya di bawah standar,” terangnya.
Hetifah menambahkan putusan MK juga tidak bertujuan “menegerikan” sekolah swasta, yang umumnya mencari sendiri sumber pendanaannya.
“Hanya memang sekolah negeri pasti mendapat banyak kemudahan dan fasilitas,” ucapnya.
Misalnya, guru-gurunya kebanyakan merupakan ASN yang berarti dibiayai negara. Kemudian lahan lokasinya juga milik pemerintah serta pembangunan sarana prasarana yang lebih diprioritaskan.
Menurut Hetifah, ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk memastikan keputusan MK tersebut bisa diwujudkan.
“Sehingga tidak ada kesan mengurangi partisipasi pendidikan swasta,” ucapnya.
Editor: Jajang Suryana |