Semarang, CINEWS.ID – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika membacakan dakwaan kasus perundungan dan pemerasan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang disidang perdana yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang Senin (26/5/2025).
Dalam dakwaannya, menyebut Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani telah melakukan beberapa kejahatan dengan cara bersekutu dalam kurun waktu 2018-2023, yakni memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk memberikan barang atau sesuatu dari orang lain.
“Kedua terdakwa meminta para mahasiswa wajib membayar iuran disebut biaya operasional pendidikan (BOP) dengan nominal mencapai Rp80 juta per mahasiswa di luar biaya akademik di tingkat fakultas maupun universitas tanpa legalitas kelembagaan,” kata Sandhy dalam persidangan.
Persidangan itu dibagi dua sesi yakni sedu pertama terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani serta sesi kedua terdakwa Zara Yupita Azra.
Dalam dakwaan itu JPU menyebut, mendiang dokter Aulia menjabat sebagai bendahara angkatan 77 harus mengumpulkan uang dari rekan-rekannya untuk memenuhi kebutuhan para senior hingga total uang yang dikumpulkan mencapai Rp864 juta, hingga secara keseluruhan angkatan 2018-2023 disetor kepada terdakwa Sri Maryani secara non tunai dengan jumlah total Rp2,4 miliar.
Dari dana dipungut dan disetorkan ke rekening pribadi Sri Maryani tersebut, lanjut Sandhy, terdakwa Taufik Eko Nugroho menerima keuntungan pribadi sebesar Rp177 juta, sedangkan Sri Maryani mendapat honor Rp24 juta atas perannya mengelola dana.
“Para terdakwa secara sadar mendapat keuntungan,” jelasnya.
Dalam perkara itu, Jaksa Penuntut Umum Sandhy Handika mendakwa keduanya dengan pasal berlapis, yakni Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang pemerasan, Pasal 378 tentang penipuan, serta Pasal 335 ayat (1) mengenai pengancaman atau pemaksaan.
Pada sidang sesi kedua dengan terdakwa Zara Yupita Azra Jaksa Sandhy Handika menyebut terdakwa merupakan mahasiswa senior PPDS Anestesi Undip paling vokal memberikan doktrin untuk menindas juniornya yakni memberi penjelasan kewajiban-kewajiban junior ke senior seperti kewajiban junior membayar jasa joki kepada pihak ketiga yang mengerjakan tugas senior di pendidikan.
“Sistem joki ini merupakan bagian dari operan tugas, sesuai arahan terdakwa, yakni membayar pihak ketiga yang akan mengerjakan tugas-tugas senior terungkap adanya riwayat transaksi pembayaran joki tugas masing-masing Rp77,2 juta dan Rp20,8 juta,” ungkap Sandhy.
Menurut JPU selain itu terdakwa juga menyampaikan doktrin kepada angkatan 77 (di dalamnya dr Aulia Risma Lestari) melalui aplikasi Zoom tentang adanya aturan di internal PPDS Undip berupa pasal anestesi senioritas dan indoktrinasi merupakan bentuk intimidasi terselubung kepada para junior dokter residen.
Pasal Anestesi tersebut yakni pertama Senior selalu benar, kedua bila senior salah kembali ke pasal 1, 2 hanya ada ‘ya’ dan ‘siap’, ketiga yang enak hanya untuk senior, keempat bila junior dikasih enak tanya kenapa, kelima Jangan pernah mengeluh karena semua pernah mengalami dan keenam Jika masih mengeluh siapa suruh masuk anestesi.
Selain itu juga terungkap adanya tata krama yang wajib ditaati oleh para junior di prodi anestesi yakni selalu ucapkan izin jika bicara dengan senior, semester 0 hanya boleh bicara dengan semester 1 dan dilarang keras bicara dengan semester di atasnya kecuali senior yang bertanya langsung, agar kenal dengan senior atau kenal dengan teman senior di IBS atau Instalasi Bedah Sentra haram hukumnya semester 0 bicara dengan semester 2 tingkat di atasnya.
Editor: Rika Inmarse |