Presiden Prabowo Harus Mereformasi Total Sistem Pengelolaan dan Perketat Pengawasan Dana Desa

Rakyat desa berhak mendapat pemimpin yang jujur, bukan maling berkedok pelayan publik.

Ilustrasi.

Lampung, CINEWS.ID – Dana Desa adalah instrumen penting pemerataan pembangunan yang sudah sejak era Presiden Joko Widodo digembar-gemborkan sebagai tumpuan kesejahteraan Desa. Namun faktanya dilapangan, Dana desa yang sejatinya diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Desa, kini berubah menjadi santapan empuk para pejabat lokal yang rakus.

Program besar seperti Dana Desa, yang sebenarnya revolusioner, namun bisa gagal di tangan aparat lokal yang tak bermoral.

Banyak pengungkapan kasus-kasus korupsi Dana Desa dalam pemberitaan media siber adalah potret nyata kegagalan moral para pejabat Kepala Desa (Kades) di Indonesia.

Berdasarkan laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, kasus penyalahgunaan dana desa terus meningkat. Bahkan, Dana Desa menjadi salah satu sumber korupsi yang paling banyak ditangani Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi di berbagai daerah.

Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan Dana Desa, sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya integritas moral para pemegang amanah di tingkat bawah.

Ironisnya, banyak di antara mereka yang dulunya dipilih rakyat karena dianggap sebagai “orang kampung sendiri” yang mengerti derita masyarakat kampungnya. Tapi justru setelah duduk di kursi kekuasaan, mereka mengkhianati kepercayaan itu dengan memperkaya diri.

Maraknya korupsi dana desa dapat di sebabkan beberapa faktor berlapis.

Pertama, karena sistem pengawasan internal sangat longgar. Banyak desa tidak memiliki mekanisme audit independen yang kuat. Inspektorat daerah kadang hanya menjadi stempel formalitas, bukan lembaga pengawas yang sesungguhnya.

Kedua, politisasi jabatan kepala desa. Dalam banyak kasus, pemilihan kepala desa kini tak ubahnya pilkada kecil-kecilan. Ada sponsor politik, ada mahar, ada janji jabatan. Setelah menang, tak sedikit kepala desa yang merasa berutang budi kepada “pemodal”. Maka mereka merasa berhak “mengambil kembali” biaya politik itu dari proyek-proyek desa.

Ketiga, budaya permisif terhadap korupsi di tingkat lokal. Di banyak tempat, kepala desa yang korupsi tetap dihormati selama masih “dermawan” kepada masyarakat. Bantuan pribadi dalam bentuk sumbangan acara desa, pembangunan masjid, atau pemberian hadiah pada acara adat sering membuat warga “tutup mata” terhadap dugaan korupsi yang dilakukan.

Siklus inilah yang membuat korupsi dana desa terus berulang dan seolah menjadi “kebiasaan baru”.

Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum mesti segara berbenah dan melakukan pengawasan ketat terhadap anggaran Dana Desa, juga dalam penanganan kasus penyalah gunakan Dana Desa yang menjerat Kepala Desa (Kades), seharusnya tidak hanya dengan sekadar penahanan juga proses hukumnya harus transparan, cepat, dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Bukan hanya demi efek jera, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan.

Penting juga untuk menelusuri aliran dana hasil korupsi tersebut. Tidak cukup sekadar menghukum pelaku utama. Perlunya pengusutan ke mana saja uang negara itu mengalir. Siapa saja yang turut menikmati. Jangan biarkan praktik-praktik ini berhenti di satu orang, sementara jejaring korupsinya tetap hidup subur.

Bukan konsepnya yang salah, tapi sistem pengawasan dan integritas aparat pelaksananya yang harus diperketat. Audit independen harus diperkuat, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi harus difasilitasi, dan hukuman terhadap pelaku korupsi harus dibuat jauh lebih berat.

Pemerintah juga harus mendorong masyarakat Desa untuk lebih berani melaporkan penyimpangan. Proteksi terhadap pelapor harus dijamin oleh aparat penegak hukum. Jangan biarkan warga kecil yang melaporkan kades korup malah dikriminalisasi atau ditekan secara sosial.

Di sisi lain, pendidikan anti-korupsi harus masuk hingga ke tingkat desa. Kepala desa, perangkat desa, bahkan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) harus diberi pelatihan intensif tentang transparansi anggaran, pengelolaan keuangan yang akuntabel, serta konsekuensi hukum penyalahgunaan wewenang.

Korupsi dana desa adalah pengkhianatan kelas berat terhadap masyarakatnya sendiri. Tidak ada alasan pembenaran, tidak ada ruang kompromi.

Kini, di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, seluruh rakyat sangat berharap adanya reformasi total sistem pengelolaan dana desa. Pengawasan harus berbasis digital, laporan harus terbuka dan real time, serta reward and punishment harus diterapkan ketat.

Jika pemerintah tidak berbenah dari sekarang, skandal demi skandal Dana Desa akan terus mencoreng wajah desa-desa di Indonesia.

Mimpi besar tentang Indonesia yang membangun dari pinggiran akan tinggal isapan jempol, dan “gelap itu menjadi sebuah keniscayaan”.

Penulis : M. Ibnu Ferry