BEM Unud Menuntut Pembatalan Perjanjian Kerja Sama Rektorat Dengan Kodam Udayana

Presiden BEM Unud, I Wayan Arma Surya Darmaputra.

Denpasar, CINEWS.ID – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) menuntut pembatalan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Rektorat Unud dengan Kodam IX/Udayana karena berpotensi mengancam kebebasan akademik. Mereka berencana menggelar aksi di Rektorat Unud pada Selasa depan.

Presiden BEM Unud, I Wayan Arma Surya Darmaputra mengatakan, bahwa apabila dikaji lebih lanjut perjanjian yang bertujuan untuk membangun kolaborasi antara kedua institusi ini masih bersifat umum tanpa adanya pengaturan teknis terkait pelaksanaannya.

Ketidakjelasan mengenai implementasi kerja sama ini menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama terkait batasan kewenangan serta dampaknya terhadap kebebasan akademik dan independensi institusi pendidikan. Oleh karena itu, BEM Unud menolak perjanjian tersebut,”kata Arma, Selasa (1/4/2025).

“Penolakan ini muncul sebagai respon kekhawatiran kami terhadap masuknya unsur militerisasi dalam institusi pendidikan, yang seharusnya tetap netral dan bebas dari kepentingan sektoral tertentu,” tandasnya.

Menurut Arma, sebagai institusi pendidikan tinggi, Unud memiliki tanggung jawab untuk menjaga kebebasan akademik, memastikan lingkungan yang objektif, serta mencegah segala bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpikir, mengajar, dan meneliti. Kerja sama ini berpotensi membatasi kebebasan akademik serta membuka ruang bagi politisasi dalam kegiatan akademik, yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan yang menjadi landasan pendidikan tinggi.

Sebagai universitas yang menjunjung tinggi prinsip Unggul, Mandiri, dan Berbudaya, Unud harus tetap menjadi ruang yang bebas bagi pengembangan ilmu pengetahuan tanpa intervensi yang dapat menghambat kebebasan akademik dan integritas intelektual.

Arma mempertegas bahwa perjanjian tersebut akan menimbulkan kekhawatiran serius terhadap independensi institusi pendidikan. Perjanjian ini berpotensi membatasi ruang akademik yang seharusnya bebas dari intervensi militer, mengancam kebebasan intelektual sivitas akademika, serta membuka peluang bagi militer untuk mendominasi ranah pendidikan sipil.

“Dengan adanya klausul-klausul yang problematik dalam perjanjian tersebut, kami menilai bahwa keterlibatan TNI dalam institusi akademik dapat mengarah pada pengabaian prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan dalam reformasi,” tegasnya.

Penolakan yang dilakukan tersebut dituangkan dalam pernyataan sikap. Dengan pernyataan sikap ini, diharapkan independensi institusi pendidikan tetap terjaga, kebebasan akademik tidak terdistorsi oleh kepentingan militer, serta supremasi sipil dapat ditegakkan sesuai dengan prinsip demokrasi dan konstitusi. Selain itu, peran TNI dalam pertahanan negara harus tetap berada dalam koridor yang semestinya, tanpa melampaui batas dan mengintervensi ruang akademik yang seharusnya bebas dari tekanan kekuasaan.

BEM Unud pun merekomendasikan 5 tuntutan. Pertama, menuntut pencabutan Perjanjian Kerjasama Antara Universitas Udayana dengan Tentara Nasional Indonesia dalam hal ini Kodam IX/Udayana atau Universitas Udayana wajib membuat peraturan lanjutan yang memperkuat independensi institusi dan membatasi ruang-ruang militerisasi di ranah akademik.

Kedua, menolak pihak TNI untuk mendapatkan data Penerimaan Mahasiswa Baru tanpa alasan yang jelas (perlindungan data mahasiswa sipil). Ketiga, tidak boleh adanya pengurangan hak-hak masyarakat sipil dalam mengakses perguruan tinggi apabila perjanjian kerja sama ini terlaksana nantinya. Keempat, menuntut transparansi segala bentuk program penelitian & Pendidikan yang akan diberikan oleh pihak TNI ke mahasiswa serta melibatkan musyawarah & pertimbangan dari pihak mahasiswa. Dan kelima, menolak segala bentuk intervensi TNI dalam sistem penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi Universitas Udayana.

Saat di konfirmasi mengenai hal itu, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud, Dwi Andra, mengaku memahami bahwa universitas lain juga melakukan kerja sama serupa. Namun, dia menilai penandatanganan PKS antara Rektorat Unud dengan Kodam IX/Udayana menjadi sorotan karena bertepatan dengan polemik disahkannya revisi Undang-Undang TNI.

“Mungkin universitas lain memang memiliki perjanjian serupa. Namun, momen saat ini ada pergerakan soal UU TNI yang perlu kami soroti. Salah satunya adalah keistimewaan aparat dalam mengakses pendidikan di Udayana,” ujar Dwi Andra di kampus Unud, Sudirman, Denpasar, Selasa (1/4/2025).

Para mahasiswa menyoroti pasal-pasal dalam PKS yang dianggap bermasalah. Misalkan Pasal 2-10 yang dinilai memberikan keistimewaan bagi aparat untuk mengakses pendidikan di Unud.

“Secara musyawarah, kami menolak, dan dari seluruh poin yang telah kami bahas, mahasiswa secara keseluruhan menolak PKS ini serta menuntut pencabutannya,” imbuh Dwi.

Selain mahasiswa aktif, Aliansi Alumni Mahasiswa Unud juga menyatakan penolakan terhadap PKS tersebut. Mereka menilai PKS tersebut sebagai upaya militerisasi di perguruan tinggi.