JAKARTA, Cinews.id – Dua pasal Pasal 111 Ayat 2 dan Pasal 12 Ayat 11 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai dapat menimbulkan persoalan baru antara kepolisian dan kejaksaan.
Dimana dalam Pasal 111 Ayat (2) RUU KUHAP saat ini, jaksa diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian.
Padahal seharusnya, pasal tersebut mutlak kewenangan dari kepolisian dan jika tetap diterapkan dikhawatirkan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu.
Padahal dalam hal ini, yang boleh mengontrol hanya Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Sementara dalam Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP menjelaskan apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, bisa menindaklanjuti ke kejaksaan.
Pasal semacam ini merupakan suatu kemunduran yang sebelumnya, saat era Hindia Belanda hingga Orde Baru, sudah pernah diterapkan tetapi kemudian dihapus. Karena dalam pasal ini memberi peluang jaksa untuk kembali sebagai penyidik, dan ini dapat merusak tatanan distribusi kewenangan yang sudah diatur bagus dalam KUHAP.
Seharusnya, seperti yang berlaku saat ini, jaksa hanya bisa (menyidik) pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi.
Dan jaksa tidak berhak menerima laporan masyarakat, kemudian melakukan pemeriksaan dan penuntutannya secara mandiri.
Sebab bila hal ini berlaku, maka bisa terjadi tumpang tindih kewenangan antara Kejaksaan dengan kepolisian, lantaran penyidik (jaksa) bisa menyidik sendiri, menuntut sekaligus menyidik.
Kewenangan itu di dapat diberlakukan jika memang terkait perkara tindak pidana khusus, karena tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat (extraordinary crime) adalah kejahatan luar biasa.
Demi efektivitas kinerja penanganan suatu perkara hukum, ada baiknya jika dalam RUU KUHAP yang baru menempatkan jaksa wilayah berkantor di kantor kepolisian seperti yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni adanya penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum yang bekerja satu atap.
Hal ini juga perlu, sehingga diharapkan meminimalisasi terjadinya pengembalian berkas perkara yang bolak-balik dari polisi ke jaksa. Selain itu, diharapkan suatu perkara hukum ketika masuk pengadilan, sudah disertai dengan bukti yang kuat.
Namun demikian, pada saat penyidikan, tetap tugasnya polisi, jaksa bukan koordinasi saja, tapi sinergi dalam rangka collecting evidence atau pengumpulan barang bukti, jaksa dilibatkan setelah penyidikan.
M. Ibnu Ferry
Eksplorasi konten lain dari CINEWS.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

