Indonesia Dalam Cengkraman Proyek OBOR China

Ilustrasi OBOR.

JAKARTA, Cinews.id — Sejak 2013 lalu konsep “One Belt One Road” (OBOR) ramai menjadi perbincangan, Bukan karena gagasannya yang kontradiktif akan tetapi karena hiruk pikuk pemberitaannya di beberapa media tanah air.

Lantas sebenarnya apa dan bagaimana konsep OBOR yang digaungkan oleh Presiden Cina, Xi Jin Ping sejak 2013 lalu, yang “magnitude”-nya sampai hingga ke banyak negara termasuk Indonesia?

Konsep OBOR yakni suatu strategi pembangunan dari pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berfokus pada konektivitas dan kerja sama antarnegara terutama antara Cina dan seluruh negara Eurasia yang terdiri atas dua komponen utama jalur ekonomi baik jalur sutra darat dan jalur sutra maritim.

Sasaran dari proyek ini bertujuan membangun infrastruktur darat, laut, dan udara secara besar-besaran untuk meningkatkan jalur perdagangan dan ekonomi antar negara di Asia dan sekitarnya. Mega proyek Belt and Road telah menghubungkan 70 negara Asia, Eropa, dan Afrika. Kelebihan program ini adalah alokasi dana “segar” yang besar bagi anggotanya.

Kekuatan OBOR Cina jelas telah membawa pengaruh terhadap lanskap ekonomi dunia. Proyek infrastruktur yang dirancang Tiongkok tidak lagi untuk meningkatkan kualitas infrastruktur lokal akan tetapi memperluasnya dengan konektivitas di tingkat global atau jalur sutera era baru. OBOR yang kini lebih mafhum dikenal dengan Belt and Road Initiative ini mulai menjadi jembatan penghubung antara Tiongkok dengan Asia Tenggara, Asia Selatan dan Samudera Hindia.

Cina saat ini telah menjelma jadi negara investor terbesar di dunia. Keberadaan proyek OBOR jelas dapat dimanfaatkan Indonesia sebagai peluang untuk mendapatkan kucuran investasi asing yang dapat mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Dalam pertemuan Global Maritime Fulcrum Belt And Road Initiatives (GMF –BRI), Cina sudah menyiapkan rancangan Framework Agreement untuk bekerja sama di Kuala Tanjung, Sumatera Utara (Sumut) sebagai proyek tahap pertama. Selanjutnya, ada beberapa tahap proyek kerja sama lain yang telah disepakati seperti Kawasan Industri Sei Mangkei dan kerja sama strategis pada Bandara Internasional Kualanamu untuk tahap kedua.

Sementara itu, kelompok kedua terdiri atas beberapa proyek di Sumatera Selatan (Sumsel), Riau, Jambi, dan Papua. Kini, ditengah euphoria rencana penandatanganan perjanjian OBOR oleh Pemerintah Indonesia dengan segala iming iming nilai plusnya, sebenarnya ada bahaya mengancam disana. Tetapi apakah pemerintah Indonesia menyadarinya ?

Obor Proyek Ambisius China

OBOR merupakan proyek pemerintah China untuk membangun kejayaannya melalui upaya penyambungan urat nadi perdagangan dunia. Sebuah proyek membangun megainfrastruktur dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi.

Dengan memperkuat kerjasama keuangan, memperkuat koneksi jalan atau infrastruktur dengan membentuk jalur transportasi yang kuat dengan negara lain. Mulai dari Cina ke Eropa Barat dan dari Asia Tengah ke Asia Selatan. Demi merealisasikan mimpi tersebut, China secara gencar membangun kerjasama pembangunan infrastruktur di berbagai negara, baik berupa jalur kereta api antar negara, tol darat, tol laut, pelabuhan bahkan juga jaringan pipa minyak antar negara.

Inisiatif OBOR merupakan sebuah konsep pemetaan jalan yang menghubungkan ASIA hingga Eropa. Dalam konsep ini terdapat dua peta utama yaitu 21st Century Maritime Silk Road (jalur sutra maritim abad 21) dan Silk Road Economic Belt (jalur sutra sabuk ekonomi). Saat menandatangani tujuan kebijakan luar negeri China, Presiden Xi Jinping menunjukan ambisinya. Bisa dibayangkan, bahwa masa depan Eurasia (Eropa dan Asia) akan mengarah pada kepemimpinan China.

OBOR merupakan visi geoekonomis paling ambisius di abad ini. Karena akan melibatkan 65 negara dan melingkupi 70% populasi dunia. Konsep ini akan menelan investasi mendekati US$ 4MIlyar, termasuk $900 juta yang telah diumumkan China.

Sebagai inisiator OBOR, China telah menyiapkan diri untuk menguasai jalur darat dan maritim bagi kepentingan ekonominya. Setidaknya ada 5 tujuan yang ingin diraih China dalam Inisiasi OBOR, yaitu koordinasi kebijakan, konektivitas fasilitas, perdagangan tanpa hambatan, integrasi keuangan, dan ikatan masyarakat (people to people bond).

Dalam merealisasikan inisiasi ini, di jalur darat, China menggagas infrastruktur jalan kereta api dan jalan raya, yang memanjang untuk menghubungkan China hingga menuju Eropa. Sedangkan untuk jalur maritim, China menggagas pembangunan sejumlah pelabuhan internasional dan tol laut sebagai sarana lalu lintas logistik dan zona penyimpanan untuk perusahaan-perusahaan China di kawasan tersebut.

Kini, China telah memiliki 29 dari 39 rute maritim, 60% perdagangan impor dan eskpor, dan 80% impor minyak melalui Selat Malaka. China berharap dapat menghubungkan jalur laut dari China hingga Samudera Hindia melalui Selat Malaka. China mengklaim telah menyempurnakan perjanjian perdagangan dengan 40% partisipan OBOR di akhir 2017. China juga telah menandatangani 130 perjanjian transportasi.

China, sebagai sebuah kekuatan ekonomi di Asia membidik penguasaan ekonomi Asia sekaligus melawan kekuatan ekonomi AS dan Eropa di kawasan ini. Dalam rancangan Silk Road Economic Belt and 21 st Century Maritime Silk Road, otoritas China berharap mampu menciptakan pasar yang bersifat langgeng untuk eksportir dunia di Asia Pasifik.

Untuk membangun infrastruktur dalam konsep OBOR ini, China telah mendirikan Bank khusus infrastruktur (AIIB). Dengan bank ini diharapkan proyek-proyek infrastruktur menjadi milik mereka, melalui investasi dan pinjaman China ke negeri-negeri yang dilalui jalur ini.

Dengan banyaknya investasi yang ditanamkan China, dalam merealisasikannya, maka bisa disebutkan, bahwa OBOR merupakan jalan bagi China untuk menguasai ekonomi dunia. Melalui koneksi maritim dan daratan dalam konsep OBOR, China menempatkan diri di posisi pusat hubungan ekonomi global.

China secara kasat mata telah menunjukan ambisi besar dalam menguasai ekonomi dunia. Bank investasi dan pembangunan yang dibuat oleh China bertujuan untuk memberikan pinjaman dan investasi dalam rangka mewujudkan infrastruktur tersebut.


Baca juga :

Apa Itu OBOR, Jalur Sutra Modern China yang Jadi Polemik RI?

Kebijakan Yang Mencekik

Bagi negara-negara berkembang, sulit untuk tidak tergiur dengan tawaran Tiongkok. Lewat proyek OBOR tersebut. Negeri Panda itu rela mengeluarkan USD 150 miliar atau Rp 2 ribu triliun setiap tahun. Pengeluaran gila-gilaan itu realisasi obsesi Presiden Xi Jinping membangkitkan kejayaan Jalur Sutra Tiongkok. Jalur Sutra mengacu pada jalur perdagangan masa lampau melalui Asia yang menghubungkan Timur dan Barat.

Dari 68 negara yang menjalin kerja sama dengan Tiongkok lewat OBOR , 33 negara punya peringkat investasi B atau bahkan tanpa peringkat. Sepuluh di antaranya merupakan negara kaya aset seperti Brunei Darussalam dan Iran. Atau belum punya utang publik banyak seperti Timor Leste.

Artinya, 23 negara lainnya yang masuk program OBOR punya potensi untuk terlilit utang. Nah, setelah lima tahun OBOR berjalan, ada delapan negara dengan risiko krisis finansial paling tinggi. Yakni, Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Mereka itulah yang disebut masuk ”jebakan Tiongkok” lewat iming-iming proyek infrastruktur tadi.

Yang terparah adalah Pakistan. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD 62 miliar atau Rp 903 triliun. Belum termasuk pinjaman lain. Pemerintah Tiongkok mengambil jatah 80 persen dari proyek yang sebagian besar digunakan proyek pembangkit listrik itu.

Lalu, bagaimana jika gagal bayar?

Negara-negara tersebut bisa jadi harus melewati skema tukar aset. Contohnya Sri Lanka. Negara yang bertetangga dengan India itu memperoleh pinjaman pada 2015. Saat itu Sri Lanka terpojok karena Presiden Mahinda Rajapaksa dituduh melanggar HAM.

Kondisinya terkucil. Namun, Tiongkok tetap mengucurkan dana bertubi-tubi. Jumlahnya mencapai USD 8 miliar atau Rp 116 triliun. Saat tak sanggup membayar, Sri Lanka harus menyerahkan 70 persen saham kepemilikan Pelabuhan Hambantota serta hak pengelolaan ke pemerintah Tiongkok. Hak pengelolaan selama 99 tahun itu mengganti utang USD 1,1 miliar atau Rp 16 triliun.

”Harga yang harus dibayar untuk mengurangi utang tersebut bisa jadi lebih merugikan bagi Sri Lanka,” ujar Sathiya Moorthy, pakar Sri Lanka di Observer Research Foundation, kepada New York Times dikutip, Cinews.id, Ahad (5/1/2025).

Sudah banyak negara yang khawatir akan bernasib seperti Sri Lanka. Myanmar, misalnya, meminta pengurangan jumlah pinjaman untuk proyek Pelabuhan Kyaukpyu. Perdana Menteri Tonga Akalisi Pohiva pun meminta ada penghapusan pinjaman USD 160 juta atau Rp 2 triliun. Dia mengajak negara-negara Oseania lainnya untuk ikut memohon utangnya dihapuskan saja.

”Kami takut mereka (Tiongkok) mengambil aset kami jika tak bisa membayar,” ujar Akalisi.

Ketakutan itu menciptakan istilah kolonialisme utang. Yakni, sistem untuk mengekang dan menjajah negara dengan lilitan utang. Dengan begitu, Tiongkok bisa memiliki aset atau tanah di berbagai negara. Namun, pemerintah Tiongkok tak sependapat. Mereka menilai bahwa label debt colonialism hanya upaya politik untuk memojokkan Tiongkok. Padahal, setiap pinjaman investasi itu disetujui kedua pihak.

”Banyak juga lelang (proyek) yang tak dimenangkan perusahaan Eropa dan Amerika. Apakah mereka juga melakukan debt colonialism?” ujar Wu Dongxu, general manager Trans Continental Management Consultancy, kepada Global Times.

Apapun itu, proyek OBOR telah memunculkan trauma dimana mana. Karena terbukti ambisi China tersebut banyak mencekik negara-negara berkembang yang ikut dalam kerjasama mewujudkan jalur sutra terebut. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada Agustus lalu mengatakan negaranya akan menghentikan proyek-proyek yang didukung dana dari China, termasuk jalur kereta senilai US$20 miliar.

Malaysia tidak sendiri Perdana Menteri Paksitan yang baru Imran Khan bertekad untuk lebih transparan akibat muncul kekhawatiran akan kemampuan negara itu membayar kembali utang untuk proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan. Pinjaman dana segar itu seolah menjadi buah simalakama bagi negaranya yang sewaktu-waktu dapat menjera

Malaysia tidak sendiri Perdana Menteri Paksitan yang baru Imran Khan bertekad untuk lebih transparan akibat muncul kekhawatiran akan kemampuan negara itu membayar kembali utang untuk proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan. Pinjaman dana segar itu seolah menjadi buah simalakama bagi negaranya yang sewaktu-waktu dapat menjerat kesehatan ekonomi, sebab adanya beban hutang yang begitu besar.

Pernyataan tegas dalam mengkritik proyek OBOR juga diucapkan oleh pemimpin Maladewa yang diasingkan Mohamed Nasheed, Nasheed mengatakan kegiatan China di kepulauan Lautan Hindia serupa dengan “perebutan tanah” dan “penjajahan”, karena 80 persen utang negara-negara itu berasal dari China. Proyek OBOR pun secara ekonomi telah memakan korban negara Sri Lanka.

Harus diakui bagi negara berkembang tawaran dana segar untuk membiayai pembangunan adalah tawaran yang sangat menarik sekaligus sangat berisiko, sebab masa depan perekonomian sebuah negara menjadi taruhannya. Kemampuan ekonomi sebuah negara bisa saja menghadapi kebangkrutan ketika proyek tersebut gagal menghasilkan dampak ekonomi yang positif untuk pemasukan negara, sementara utang telah terlanjut dibuat dan disepakati. Sebagai ganti hutang banyak sumberdaya, infrastruktur strategis dan aset sebuah negara yang jadi bahan tukar guling dengan China, dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Indonesia juga ambil bagian dalam perjudian dengan China dalam membangun infrastruktur yang tergabung dalam proyek OBOR secara garis besar. Salah satu proyek ambisius itu adalah pembangunan infrastruktur tol darat dan jalur cepat kereta api. Dua proyek yang kalkulasi ekonominya belum secara jelas menjaminkan keuntungan bagi masyarakat Indonesia.

Tol-tol yang gencar dibangun oleh pemerintah saat ini memang secara akomodatif mampu memangkas waktu tempuh dan menyambung beberapa daerah, tapi distribusi logistik dan kegiatan ekonomi belum terlihat bergerak secara nyata di situ. Biaya yang cukup tinggi masih menjadi pertimbangan warga dan para pelaku ekonomi untuk melalui jalan tol yang dinilai pemerintah adalah proyek strategis untuk menumbuhkan perekonomian. Namun melewati tol tersebut akan berpengaruh secara signifikan terhadap ongkos produksi.

Kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung pun banyak mendapat kritik soal perencanaannya. Banyak masalah yang muncul dari pembangunan tersebut, contohnya perkara pembebasan lahan. Banyak warga yang belum menerima pencairan dana dari lahan yang diambil untuk pembangunan kereta cepat tersebut.

Kereta cepat Jakarta-Bandung (JKT-BDG) yang berjarak sekitar 142 km dengan nilai proyek sebesar USD 4,5 miliar atau sekitar Rp 68,4 triliun juga dinilai terlalu mahal, dan bila diukur dalam skala prioritas pemerintah sebaiknya mengembangkan rel kereta secara lebih baik pada perbaikan jalur-jalur kereta di pulau Jawa, pembangunan rel ganda di Sumatera dan groundbreaking jalur kereta di pulau Kalimantan.

Dampak ekonomis yang dihasilkan oleh pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung pun belum terlihat secara real, juga dukungan riset yang mempuni bahwa jalur tersebut memastikan keuntungan bagi pemerintah RI. Banyak pengamat menilai masyarakat masih akan menggunakan moda darat lain yang lebih murah, ketimbang menggunakan kereta cepat.

Sementara China sendiri yakin Indonesia akan kesusahan bayar (utang). Sehingga penguasaan mayoritas perusahaan nanti akan dilakukan China. Demikian pula tenaga kerja yang dikerahkan semua akan diturunkan dari China. Tenaga kerja Indonesia hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan.

Tak pelak lagi, investasi, hutang luar negeri China, dan MoU kerjasama Indonesia-China, merupakan jalan bagi China menguasai ekonomi Indonesia. Pembangunan infrastruktur dengan investasi dan hutang dari China, serta MoU dalam pendirian Bank investasi Infrastruktur AIIB di Indonesia, memiliki bahaya terselubung bagi Indonesia.

China akan mendapatkan keuntungan ekonomis dengan menguasai infrastruktur Indonesia. Keuntungan hasil investasi, lapangan pekerjaan bagi warga China, penguasaan properti disekitar infrastruktur yang dibangun, rantai pasok komoditas dari pelosok Indonesia, hingga pasar produk.

Jika Indonesia diam, tidak menyadari bahaya ini, dalam jangka waktu ke depan, Indonesia akan semakin masuk ke dalam jebakan China. Terkurasnya kekayaan alam Indonesia, banjirnya produk China hingga mematikan produk lokal, menyempitnya lahan dan lapangan pekerjaan bagi anak bangsa ini, bukan sesuatu yang mustahil.

Bahaya ini lebih besar dari pengalaman Angola dan Srilanka. Indonesia yang kaya, akan menjadi miskin, penuh pengangguran, dan kehabisan lahan untuk rakyat, akibat penguasaan ekonomi oleh China.

Pemerintah RI jelas harus berpikir ulang dan melakukan riset secara lebih hati-hati dalam keikutsetaanya pada proyek OBOR China. Jangan sampai pemerintah terjebak utang karena mengikuti syahwat China dalam membangun kekuatan ekonominya.

Memang pinjaman China melalui China Devolepment Bank sangat mengiurkan untuk pembangunan. Namun pemerintah harus berhati-hati, jangan kebijakan yang diambilnya justru blunder, menggali kuburan sendiri akibat penjaman hutang yang tidak mampus terbayarkan, juga aset-aset negara yang harus direlakan sebagai jaminan hutang. Be aware Jokowi!.

Editor: M. Ibnu Ferry

Artikel ini pernah tayang di Media Cakrawala Indo News pada Kamis 4 April 2019 dengan judul “Konsep OBOR China Menerkam Indonesia“.