PDIP Angkat Bicara Soal Rieke Diah Pitaloka Tolak PPN 12 Persen Dipanggil MKD

Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka.

JAKARTA, Cinews.id – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevry Sitorus mengingatkan tujuan dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI bukanlah untuk mengekang legislator berbicara dalam menyampaikan aspirasi.

Hal itu disampaikan Deddy menanggapi rencana MKD DPR RI memanggil anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka terkait dugaan pelanggaran kode etik atas pernyataannya di media sosial tentang penolakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dinilai provokatif berdasarkan aduan masuk.

“Seharusnya MKD itu dibuat untuk melindungi kebebasan anggota DPR berbicara, bukan untuk mengekang atau menghukum. Sangat berbahaya bagi DPR jika MKD dipakai sebagai sarana untuk ‘menggunting lidah’ para anggotanya,” kata Deddy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (30/12/2024).

Menurut Deddy, apa yang dilakukan MKD akan berdampak terhadap daya kritis anggota DPR dan berpotensi membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada lembaga DPR.

Sebab.menurutnya, lembaga DPR RI berpotensi sekedar menjadi stempel bagi kekuasaan ketika setiap sikap kritis anggota dewan di-framing sebagai kejahatan lewat “pengaduan masyarakat” ke MKD DPR RI.

“Sesuatu yang tentu bertentangan dengan alasan DPR membuat lembaga yang namanya MKD,” ucapnya.

Dia mengatakan, bahwa DPR RI adalah lembaga yang menjalankan fungsi check and balances terhadap pengelolaan kekuasaan pemerintahan. Fungsi itu dijalankan dijalankan dan dimanifestasikan oleh para anggotanya.

Deddy menilai, yang seharusnya dipermasalahkan adalah apabila anggota DPR RI itu abai, kebal terhadap tugas, serta aspirasi masyarakat karena parlemen berasal dari kata “parle” yang artinya “berbicara”.

Yang harusnya diperiksa MKD itu menurut Deddy, adalah anggota DPR yang tidak pernah berbicara, baik di ruang sidang maupun kepada publik melalui media mainstream maupun media sosial.

“Kalau anggota DPR tidak bersuara, untuk apa rakyat membayar gajinya yang berasal dari APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) itu?,”imbuhnya.

Seharusnya, kata Deddy lagi, MKD itu dibuat untuk melindungi kebebasan Anggota DPR berbicara, bukan untuk mengekang atau menghukum. Dia mengatakan, sangat berbahaya bagi DPR jika MKD dipakai sebagai sarana untuk menggunting lidah para anggotanya.

“Ketika setiap sikap kritis anggota dewan di-framing sebagai kejahatan lewat ‘pengaduan masyarakat’, maka lembaga DPR berpotensi sekedar menjadi stempel bagi kekuasaan. Sesuatu yang tentu bertentangan dengan alasan DPR membuat lembaga yang namanya MKD,” pungkasnya.