Hukum  

UNILA Buka Suara Soal 16 Mahasiswanya Jadi Korban Penjualan Orang Modus Magang di Jerman

Bandar Lampung – Sebanyak 16 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Unila dikabarkan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Bermodus ferienjob di Jerman yang difasilitasi PT Sinar Harapan Bangsa (PT SHB).

Kabar tersebut sebelumnya mencuat usai KBRI Jerman mendapat laporan dari empat mahasiswa yang juga mengikuti program ini. Berdasarkan hasil pendalaman, hasilnya terdapat 1.047 mahasiswa dari 33 universitas yang juga tergabung dalam program ini, termasuk Unila.

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kerja Sama FH Unila, Rudi Natamiharja menjelaskan kabar terlantarnya mahasiswa yang mengikuti ferienjob di Jerman terjadi karena beberapa hal. Salah satunya yaitu perguruan tinggi melakukan proses seleksi yang kurang maksimal.

“Bekerja di luar negeri itu tidak mudah. Selain karena lingkungannya yang dingin, ada tuntutan juga untuk menguasai bahasa Inggris. Karena mereka yang tidak dapat bekerja di sana tanpa melalui seleksi yang ketat,” ujarnya, Rabu (27/3/2024).

Selain itu, Rudi juga menyebut adanya indikasi malaadministrasi dan ketidaksiapan PT SHB dalam mengakomodasi ribuan mahasiswa yang tergabung. Hal itu menurutnya berdasarkan beberapa laporan dari mahasiswanya yang mengeluhkan, jika pekerjaan yang pihak PT SHB janjikan pada kontrak di awal tidak sesuai.

“Misalnya dari yang tadinya sudah daftar menjadi porter di bandara dengan gaji 17 euro per jam. Kemudian sampai di sana, ternyata pekerjaan itu berubah dengan gaji yang lebih kecil. Ini tanpa pemberitahuan sebelumnya. Maka di situ kita lihat ini semacam tata kelola administrasi yang tidak baik,” ujarnya.

Selain itu, ketidakprofesionalan lainnya terjadi pada pemberian tiket pesawat yang mendekati keberangkatan dengan harga tiket yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Biaya tiket pesawat itu pun, menurutnya harus dibayar dengan dana talangan. Nantinya akan dibayarkan dengan pemotongan gaji saat selama bekerja di Jerman. Selain itu, Rudi menyebut masih ada juga mahasiswa yang belum menerima bonus dari upah kerja yang telah mereka lakukan.

“Yang sudah dikeluarkan itu untuk visa sekitar Rp5-6 juta. Kemudian tiket itu mahal yang mestinya harga Rp13 juta itu bisa jadi Rp25 juta. Makanya waktu itu saya minta mahasiswa untuk jangan dulu membayar,” ujarnya.

Rudi menceritakan awal mula kerja sama ferienjob ini bermula pada Juni 2023 lalu. Kala itu, pihaknya mendapat surat terkait dengan rekomendasi untuk mengikuti kerja sama ini dari LLDikti.

PT SHB sebagai fasilitator, menurutnya, sudah beberapa kali mengagendakan pertemuan. Perjanjian kontrak yang diajukan PT SHB tersebut, menurut Rudi, adalah memberikan pengalaman kepada mahasiswa untuk bekerja di luar negeri. Hasilnya pun nanti bisa di konversi.

“Dari situ kita melakukan berbagai seleksi, mulai dari tes TOEFL, akademik, kesehatan, motivasi bekerja dan bahasa inggris. Hasilnya 16 orang lolos berkas. Mereka di sana selama 3 bulan pada Oktober-Desember 2023,” jelasnya.

Namun meskipun begitu, ia membantah bahwa kasus yang melibatkan 16 mahasiswanya ini merupakan kasus TPPO. Akademisi bidang hukum internasional itu menyebut, dalam kasus TPPO biasanya terdapat unsur-unsur kekerasan dan ketidakjelasan di dalamnya.

“Saya khawatir ketika mengatakan ini adalah TPPO, akan terjadi gesekan hubungan diplomatik. Saya enggak ngerti kenapa TPPO ini muncul. Unsur-unsurnya enggak masuk,” kata Rudi.

Sebagai tindak lanjut dari kejadian ini, Rudi menyebut akan terus memantau perkembahgan hukum yang tengah berjalan. Dia juga berkomitmen untuk memfasilitasi hak-hak dari mahasiswanya yang belum terpenuhi.

“Kita lihat mahasiswa kita yang 16 ini. Apa yang mereka inginkan dari perusahaan. Kita akan kirimkan surat bahwa telah terjadi ketidaksesuaian kontrak berdasarkan yang menjadi kesepakatan di awal dengan PT SHB. Sehingga kita dirugikan. Itu lah yang akan kita lakukan,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights