LAMPUNG, Cinews.id – Kampanye Pilkada adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Kepala Daerah (Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota) dan masa kampanye Pilkada serentak di Indonesia dimulai sudah di mulai sejak 25 September 2024 dan berakhir pada 23 November 2024.
Ketentuan mengenai kampanye Pilkada 2024 ini diatur di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, yang diundangkan pada 20 September 2024.
Ada pun ketentuan mengenai larangan kampanye Pilkada 2024 diatur dalam Bab VIII; dimuat dalam Pasal 57 – Pasal 66 PKPU 13/2014 yang mengatur sejumlah larangan kampanye sebagai berikut :
- Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945;
- Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota, calon wakil walikota, dan/atau partai politik.
- Melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
- Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau partai politik.
- Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum.
- Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah.
- Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye.
- Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah.
- Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan, kecuali perguruan tinggi. dengan syarat dilakukan tanpa atribut kampanye, dilaksanakan dengan izin, dilakukan tanpa mengganggu fungsi pendidikan, diselenggarakan pada hari Sabtu/Minggu, dan dengan metode kampanye pertemuan terbatas atau dialog.
- Melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau
- Melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan.
- Menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang terkait dengan jabatan di pemerintahan, yang menguntungkan/ merugikan pasangan calon lain di wilayah kewenangannya di wilayah lain.
- Menggunakan sarana dan prasarana milik pemerintah/ pemerintah daerah.
- Menggunakan sarana dan prasarana yang dibiayai oleh pemerintah pusat (APBN)/ pemerintah daerah (APBD).
- Melibatkan pejabat BUMN/BUMD, ASN, Polisi, Anggota TNI, dan/atau perangkat desa/kelurahan.
- Melakukan kampanye sebelum masa kampanye dimulai, pada masa tenang, atau pada hari pemungutan suara.
- Menempelkan bahan kampanye di tempat umum, seperti rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, tempat ibadah, gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan protokol atau jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, serta taman dan pepohonan.
- Memasang alat peraga kampanye di tempat umum, seperti rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, tempat ibadah, fasilitas tertentu milik pemerintah, dan fasilitas lain yang dapat mengganggu ketertiban.
- Menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
- Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik langsung maupun tidak langsung untuk: mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, dan mempengaruhi untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu.
Perlu di ketahui, kegiatan kampanye Pilkada bukan merupakan kewenangan, program dan kegiatan yang terkait dengan jabatan, tetapi berkaitan dengan pelaksanaan kampanye Pilkada, dimana pasangan calonnya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Dalam setiap pelaksanaan Pilkada, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selalu menjadi isu yang mengemuka, dalam setiap peristiwa hajatan politik, baik di daerah maupun nasional. Dimana posisi strategis ASN yang mempunyai akses pada eksekusi kebijakan, anggaran dan juga berbagai fasilitas kedinasan, menjadi daya tarik bagi kekuatan politik dalam bersaing memperebutkan kekuasaan.
Menurut hukum administrasi pemerintahan, sesungguhnya netralitas ASN sudah final dan wajib ditaati, sebagai mana di pasal 2 huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, dengan tegas menyatakan tentang asas netralitas dengan penjelasannya.
“Setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun,” bunyi pasal 2 huruf f UU 20/2023 yang dikutip, Sabtu (26/10/2024).
Juga pada Pasal 12 UU 20 Tahun 2023 menyatakan bahwa, “Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme”
Hal tersebut sejalan dengan fungsi ASN sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat dan pemersatu bangsa serta tugasnya yaitu; melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan perundang-undangan; memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan mempererat persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.
Dalam aturan yang lebih khusus tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021, pasal 5 huruf (n), tentang larangan bagi PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara ; ikut kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lainnya, sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, membuat keputusan dan /atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; dan mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat serta memberikan surat dukungan disertai fotokopi KTP atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.
Dalam pandangan hukum administrasi pemerintahan tersebut, maka sudah jelas tentang ketentuan netralitas ASN dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 dan tentunya akan diikuti dengan sanksi dari tingkat sedang hingga berat bagi pelanggarnya.
Bolehkah Anggota DPRD Menjadi Tim Kampanye dalam Pilkada Serentak 2024?
Mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang juga berkedudukan sebagai pejabat negara atau pejabat daerah, tidak di temui aturan yang melarang, karena sesungguhnya kedudukan DPR/DPRD merupakan lembaga negara yang berfungsi sebagai lembaga legislatif, yang memiliki susunan dan kedudukan yang telah diatur secara tersendiri melalui undang-undang yang dikenal dengan UU MD3.
Maka oleh karena itu, meletakan fungsi DPRD menjadi quasi (seperti) eksekutif adalah bertentangan dengan UUD 1945, karena anggota DPRD itu adalah lembaga legislatif, dan bukan pejabat daerah.
Selain itu, anggota Dewan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Partai Politik, karena anggota Dewan dapat dipastikan merupakan anggota Partai Politik sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 363 UU MD3 yang menyatakan “DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum”.
Sedangkan dalam penyelanggaraan pilkada, Partai Politik sebagai pengusul pasangan calon, maka menjadi tidak kompatibel jika anggota DPRD yang menjadi anggota partai politik tidak boleh menjadi tim kampanye.
Dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 Tentang Kampanye Pilgub, Pilbub dan Pilwali tidak terdapat larangan anggota DPRD menjadi tim kampanye, karena dalam Pasal 7 ayat (1) PKPU Nomor 13 Tahun 2014 dinyatakan “Dalam melaksanakan kampanye, Pasangan Calon bersama Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu membentuk tim kampanye”, dan ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara tegas bahwa anggota DPRD dilarang menjadi tim kampanye, karena sesungguhnya anggota DPRD merupakan bagian dari Partai Politik.
Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2014 terdapat larangan kampanye dalam Pilkada hanya terbatas pada Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, pejabat negara atau pejabat daerah yang mengikuti kampanye menggunakan fasilitas negara terkait dengan jabatannya, dan menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya.
Sedangkan kegiatan kampanye Pilkada bukan merupakan kewenangan, program dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya, tetapi berkaitan dengan pelaksanaan kampanye Pilkada, dimana pasangan calonnya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Sejak penyelenggaraan Pilkada yang dipilih secara langsung oleh masyarakat yang dimulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2020, tidak ada larangan bagi anggota DPRD menjadi tim kampanye pasangan calon yang diusulkan Partai Politik Peserta Pemilu.
Dalam ketentuan pidana yang tertuang dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan “Setiap pejabat negara, penjabat ASN, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 atau paling banyak Rp. 6.000.000,00”.
Ketentuan tersebut tidak termasuk pejabat daerah, namun hanya pejabat negara, maka ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan kepada anggota DPRD terkait larangan membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Pelaksanaan kampanye pasangan calon pilkada dapat dilaksanakan oleh Partai Politik pengusul, sedangkan Partai Politik tidak dapat melaksanakan kampanye sendiri, jika tidak melibatkan anggota Partai Politik, termasuk anggota DPRD.
Sedangkan di lain pihak, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dapat mengikuti kampanye pasangan calon, dengan menjalankan cuti di luar tanggungan negara dan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.
Jadi pejabat negara, pejabat daerah itu bukan termasuk pihak yang dilarang untuk berkampanye dalam penyelanggaraan pilkada serentak tahun 2024, dan tidak ada ketentuan pidana jika berkampanye, kecuali terkait dengan larangan membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang melakukan pergantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan dari Mendagri, serta larangan menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Jadi dengan demikian, tidak ada larangan berkampanye bagi anggota DPRD sebagai pemegang kursi parlemen, termasuk menjadi ketua dan anggota tim kampanye pasangan calon, karena secara hukum susunan dan kedudukan anggota DPRD terdapat aturan khusus, yaitu UU MD3, dan anggota DPRD bukan dalam kualifikasi pejabat daerah, serta anggota DPRD merupakan bagian dari partai politik pengusul pasangan calon dalam pilkada.
M. Ibnu Ferry
Eksplorasi konten lain dari Cinews.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.