LAMPUNG, Cinews.id – Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto telah melantik menteri anggota Kabinet Merah Putih masa jabatan 2024-2029 di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024) beserta lima pejabat yang tidak berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator (Kemenko).
Ada 48 menteri dan 56 wakil menteri yang membantu Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara total, terdapat 136 pembantu Prabowo, mulai dari menteri hingga utusan khusus presiden.
Banyaknya anggota kabinet berisiko menimbulkan tumpang tindih kebijakan.
Postur kabinet gemuk ini dikhawatirkan akan mengakibatkan tidak efektifnya koordinasi dan memperlambat eksekusi kebijakan pemerintah. Maka tidak heran bila persoalan mendasar yang akan dihadapi pemerintahan Presiden Prabowo yaitu sulitnya koordinasi antar kementerian.
Meski ada sejumlah kementerian yang dipecah kemudian menjadi lebih spesifik, namun berisiko tatap akan menimbulkan persoalan baru, yaitu potensi tumpang tindih perihal kebijakan yang diambil.
Diketahui, setiap instansi dan lembaga memiliki aturannya sendiri-sendiri, dan itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk konsolidasi agar stabil. Pasalnya, dengan bertambahnya jumlah Kementerian maka akan ada regulasi teknis yang bakal bertambah.
Bertambahnya jumlah kementerian hampir dapat dipastikan juga akan menambah peraturan-peraturan teknis, dan berpotensi terhadap tidak sejalannya dengan aturan yang sudah ada sebelumnya.
Tumpang tindih itu akan berhubungan dengan sistem subordinate antarkementerian. Selain itu, perubahan maupun penambahan nomenklatur setiap dinas yang berada di daerah juga akan menimbulkan tumpang tindih.
Lantas yang jadi pertanyaan, instansi atau lembaga mana yang akan menjadi subordinate dari satu kementerian dengan kementerian lain dan bagaimana hubungannya nanti.
Sebab dalam hal ini, bukan hanya restrukturisasi akan dilakukan atau perubahan-perubahan ini akan berubah di pusat, tapi juga akan berubah di daerah dan ini ada implikasi-implikasi terkait dengan keizinan, regulasi, dan lainnya.
Sangat perlunya titik ordinat sebagai pusat komunikasi kebijakan antar instansi. Lantaran, kementerian yang terbentuk pada pemerintahan sebelumnya telah punya fokusnya sendiri.
Diketahui, beberapa kementerian atau instansi juga terlihat tidak memiliki hubungan. Contohnya, Kementerian Koordinator bidang Pangan yang membawahi Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup. Jelas kita tidak menemukan benang merah di antara keduanya.
Dimana kita sama ketahui, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki tujuan-tujuan tersendiri yang sangat krusial juga ke depannya, seperti penurunan emisi di tahun 2030, penurunan gas rumah kaca dan lain-lain.
Sebagai catatan, jumlah menteri Prabowo dan Gibran di Kabinet Merah Putih mencapai 48 orang. Jumlah ini jauh lebih banyak dari kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin yang hanya 34 menteri.
Dalam sebuah pernyataan, Presiden Prabowo Subianto mengakui kabinetnya besar, namun dia menyatakan, bahwa Indonesia sebagai bangsa besar dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat.
“Jumlah anggota kabinet kita 48 menteri juga ada badan strategis, ini memang lebih banyak dari pemerintah sebelumnya jumlah ini saya sadari memang dianggap tergolong besar tapi karena memang kita bangsa besar jumlah penduduk ke empat terbesar, luas wilayah sama seperti eropa barat terdiri 27 negara Eropa. Mengelola Eropa buruh 27 Menkeu dan Mendagri,” kata Prabowo pada, Rabu (23/10/2024).
Dari penelusuran sejarah yang di dapat Cinews.id, Kabinet Prabowo Subianto diklaim sebagai kabinet paling gemuk sejak Orde Baru hingga Reformasi, terdapat 48 menteri dan 56 wakil menteri dalam Kabinet Merah Putih
Perlu di ketahui, dalam sejarah Indonesia, jumlah menteri dalam kabinet mengalami naik turun. Di Era Soekarno pernah ada masa di mana kabinet berisi 132 menteri dan pejabat setingkat menteri.
Kabinet Era Orde Baru yang dipimpin Soeharto memiliki jumlah menteri sekitar 24-44.
Sedangkan jumlah menteri terbanyak ada di Era Kabinet Dwikora II yang terdiri dari 86 kementerian/lembaga yang diisi oleh 132 orang. Termasuk di dalamnya beberapa orang mengisi pos yang sama seperti Pemeriksa Keuangan Agung Muda (4 orang) dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Gotong Royong (4 orang).
Selain Presiden Soekarno, Kabinet Dwikora II juga dipimpin oleh Perdana Menteri (Soekarno) dan juga empat Wakil Perdana Menteri.
Bertambahnya jumlah Kementerian membebani APBN
Selain tumpang tindihnya kebijakan, Penambahan sejumlah nomenklatur kementerian di era Prabowo akan membuat jumlah kementerian lebih banyak, Kekhawatiran muncul bahwa anggaran untuk kabinet akan semakin meningkat dan dipastikan akan menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penambahan nomenklatur kementerian tentu akan dibarengi dengan penambahan belanja negara, karena setiap kementerian baru membutuhkan anggaran untuk gaji pegawai dan program-program mereka masing-masing.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menjadi UU APBN 2025 dalam Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II atau Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2025 di Jakarta pada Kamis (19/9/2024).
Dimana dalam UU APBN 2025 disebutkan, total belanja negara yang dialokasikan pada 2025 diperkirakan mencapai Rp 3.621,3 triliun, sudah termasuk belanja pegawai sebesar Rp 297,71 triliun.
Perlu diketahui, di tahun ini (2024), dengan 34 kementerian, belanja negara mencapai Rp 3.412,2 triliun, di mana belanja pegawai sebesar Rp 276,34 triliun.
Maka jelas, penambahan jumlah menteri di kabinet Presiden Prabowo beresiko membebani rakyat, karena di ketahui 52 persen APBN 2024 berasal dari penerimaan pajak.
Dilansir dari laman Kemenkeu RI, bahwa total penerimaan pajak hingga Juli 2024 mencapai Rp1.045,32 triliun atau setara 52,56 persen dari target APBN.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indarwati mengatakan, target penerimaan perpajakan tahun 2025 ditopang oleh reformasi perpajakan, perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan mulai berjalannya sistem CoreTax dan sistem perpajakan yang kompatibel dengan perubahan struktur perekonomian dan arah kebijakan perpajakan global.
Hal lain di sisi ekonomi, banyaknya regulasi dan birokrasi membuat gerak dunia usaha menjadi kurang efisien di dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Hal itu kontradiktif karena pemerintah sudah mengeluarkan undang-undang cipta kerja untuk memangkas regulasi.
Peluang Korupsi
Selain dikhawatirkannya tumpang tindih kebijakan dan membebani APBN, juga beresiko membuka lebar peluang korupsi.
Karena penambahan nomenklatur kementerian juga memerlukan waktu untuk penyesuaian, sinkronisasi, dan penyelarasan antara kementerian dan lembaga (K/L) baru dengan K/L yang sudah ada.
Lebih lanjut, komposisi menteri dan calon menteri yang mayoritas berasal dari anggota partai juga berpotensi meningkatkan risiko penyelewengan APBN, termasuk korupsi.
Hal ini akan menjadi tantangan bagi Prabowo, karena mengawasi, mengevaluasi, dan mengendalikan kabinet yang lebih besar tidaklah mudah.
Oleh M. Ibnu Ferry
Eksplorasi konten lain dari Cinews.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.