Revisi RUU Polri Dinilai Hanya Melanggengkan Impunitas dan Menjauhkan dari Prinsip Demokrasi

Ilustrasi.

Jakarta, CINEWS.ID – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang resmi ditetapkan DPR RI dalam Rapat Paripurna sebagai RUU usul inisiatif DPR pada Selasa (24/3/2025) diklaim sebagai langkah modernisasi, menuai polemik dan kontroversi.

Publik mengecam keras karena justru menunjukkan pola yang sistematis, karena substansinya memperluas wewenang Polri tanpa pengawasan yang memadai dianggap menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kewenangan eksesif.

RUU ini pun dinilai gagal mendesain perbaikan fundamental dan justru memperluas kekuasaan Polri secara tidak proporsional.

Melansir siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang dipublikasikan oleh PSHK,  Berikut rincian pasal-pasal yang menuai kontroversi berdasarkan draf RUU dan kajian sipil.

  1. Pengawasan Ruang Siber (Pasal 14 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf q)

RUU memberi kewenangan Polri untuk melakukan pembinaan, pengawasan, serta pengamanan ruang siber, termasuk “penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber”. Hal ini tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dan diperkuat oleh Pasal 16 ayat (1) huruf q. Kebijakan ini memicu kekhawatiran akan kebebasan berekspresi dan privasi warga di ranah digital.

“Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri,” tulis PSHK dalam laporannya, dikutip Rabu, 26 Maret 2025.

  1. Penggalangan Intelijen oleh Polri (Pasal 16A dan 16B)

Pasal 16A memberikan Polri kewenangan melakukan penggalangan intelijen, yaitu “tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan”. Ini menimbulkan kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang, terutama tanpa definisi jelas atas “kepentingan nasional”.

Menurut Pasal 16B, Intelkam Polri juga berwenang memeriksa aliran dana dan meminta bahan keterangan dari kementerian dan lembaga lain. Pengaturan ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan lembaga seperti BIN dan PPATK.

  1. Kewenangan Penyadapan Tanpa Izin (Pasal 14 Ayat 1 Huruf o)

RUU memberikan kewenangan penyadapan kepada Polri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) huruf o. Namun, tidak ada mekanisme perizinan yang diatur secara eksplisit. Ini berbeda dengan KPK yang wajib meminta izin dari Dewan Pengawas.

PSHK menyebutkan, “Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan.” Dengan demikian, kewenangan ini dianggap berbahaya dan membuka celah pelanggaran HAM.

  1. Intervensi terhadap Penyidikan Lembaga Lain (Pasal 14 Ayat 1 Huruf g dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf n, o, dan p)

Polri dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g diberi kewenangan membina teknis PPNS dan penyidik lembaga lain, seperti KPK. Sementara dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n hingga p, Polri berhak memberi rekomendasi pengangkatan penyidik, memberi petunjuk penyidikan, dan menerima hasil penyidikan dari lembaga lain.

Pengaturan ini dikhawatirkan melemahkan independensi lembaga seperti KPK. PSHK menyatakan, “Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS”.

  1. Penguatan Pam Swakarsa (Pasal 14 Ayat 1 Huruf g)

Pasal 14 ayat (1) huruf g juga mengatur bahwa Polri membina bentuk pengamanan swakarsa.

“Undang-Undang ini diatur bahwa Polri secara fungsional dibantu oleh Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi,” demikian kutipan penjelasan RUU Polri.

PSHK menjelaskan praktik Pam Swakarsa di masa lalu memiliki sejarah kelam dengan pelanggaran HAM dan konflik kepentingan. PSHK menilai hal ini membuka ruang untuk komersialisasi keamanan dan represifitas sipil.

  1. Perpanjangan Usia Pensiun (Pasal 30 Ayat 2 dan 3)

Pasal 30 ayat (2) menetapkan batas usia pensiun Anggota Polri menjadi 60 tahun, dan ayat (3) memperpanjangnya hingga 62 tahun bagi yang memiliki keahlian khusus. Untuk pejabat fungsional, usia pensiun bahkan bisa sampai 65 tahun.

PSHK mengkritik ketentuan ini karena memperlambat regenerasi dan tidak menyelesaikan masalah penumpukan perwira tinggi di internal Polri.

  1. Kewenangan Membina Hukum Nasional dan Smart City (Pasal 14 Ayat 1 Huruf e dan Ayat 2 Huruf c)

Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e, Polri diberi tugas “turut serta dalam pembinaan hukum nasional” yang berpotensi tumpang tindih dengan tugas BPHN. Sementara itu, Pasal 14 ayat (2) huruf c memberi kewenangan Polri untuk menyelenggarakan smart city bersama pemerintah pusat dan daerah.

PSHK menilai, “Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan.”

  1. Minimnya Mekanisme Pengawasan

RUU Polri tidak secara tegas memperkuat mekanisme pengawasan eksternal terhadap institusi kepolisian. Dalam Pasal 35 hingga Pasal 39, peran Komisi Kode Etik dan Kompolnas disebut namun tetap diatur lewat Peraturan Presiden atau Peraturan Kepolisian.

PSHK menyatakan bahwa pengawasan internal selama ini justru menjadi “benteng impunitas”, karena lemahnya efek jera dan minimnya sanksi tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan anggota Polri.

  1. Proses Legislasi Minim Partisipasi Publik

Melansir PSHK, proses pembentukan RUU Polri tidak masuk dalam Prolegnas 2020-2024 dan cenderung terburu-buru. “Semangat DPR RI dalam melakukan revisi ini berbanding terbalik dengan 20 tahun pengabaian DPR terhadap RUU Perlindungan PRT,” tulis PSHK, Rabu, 26 Maret 2025.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai revisi RUU Polri hanya akan melanggengkan impunitas dan menjauhkan institusi Polri dari prinsip demokrasi serta perlindungan HAM.