JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut sistem peradilan militer bermasalah. Khususnya, dalam konteks isu hak asasi manusia (HAM).
“Sistem peradilan militer ini sangat bermasalah terutama dalam konteks isu hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan peradilan militer tidak dapat memenuhi prinsip peradilan yang kompeten, imparsial, dan juga independen,” kata Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, kepada wartawan, Rabu (27/3/2024).
Hal itu disampaikan Andi dalam merespons penanganan kasus penyiksaan dilakukan oleh sejumlah oknum prajurit TNI terhadap orang asli Papua (OAP). KontraS memandang kasus tersebut perlu diproses melalui mekanisme peradilan umum.
Dia mengutip Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Pasal 65 ayat (2) UU 34 Tahun 2004. Beleid itu mengatur mengenai Prajurit TNI harus tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
“Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut seyogyanya dapat menjadi sebuah landasan dalam melaksanakan prinsip perlakuan yang sama di depan hukum,” ucap Andi.
Ia menambahkan berulangnya berbagai bentuk pelanggaran HAM di Papua disebabkan pendekatan penyelesaian konflik yang keliru oleh pemerintah. Selama ini, kata dia, pendekatan keamanan menjadi opsi utama dibandingkan dengan pendekatan negosiasi atau dialog.
KontraS mencatat selama periode Desember 2022-November 2023, terdapat 6.975 personel keamanan yang secara bergantian diterjunkan ke tanah Papua. Jumlah itu terdiri dari 1.142 personel Polri dan 5.833 personel TNI.
“Dampaknya, telah terjadi 46 peristiwa kekerasan terhadap warga sipil di Tanah Papua yang menyebabkan 66 orang terluka dan 41 orang tewas,” ucap Andi.
Beredar video berisi tindakan penyiksaan terhadap anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kabupaten Puncak. Dalam video itu, terlihat seorang OAP sedang mengalami penyiksaan dengan keadaan kedua tangan diikat dari belakang, dan dimasukkan ke dalam drum warna biru.
Kepala korban berulang kali dipukul dan ditendang secara kejam oleh para pelaku yang bertubuh tegap, berkaos, dan berambut cepak. Salah satunya memakai kaos hijau bertuliskan angka 300.
Terhadap peristiwa itu, TNI telah menyampaikan permintaan maafnya. Permintaan maaf ini disampaikan Pangdam XVII/ Cenderawasih Mayjen TNI Izak Pangemanan.
“Saya minta maaf kepada seluruh masyarakat Papua dan kami akan terus bekerja agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa-masa mendatang,” kata Izak di Subden Denma Mabes TNI, Jakarta, Senin, 25 Maret 2024.
Kadispenad Brigjen TNI Kristomei Sianturi, menjelaskan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI dari Yonif 300/Raider itu tengah dilakukan investigasi lanjutan. Pemeriksaan dilakukan atas perintah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Maruli Simanjuntak.
“Bapak KSAD sudah memerintahkan dalam hal ini POM TNI AD dibantu oleh Pomdam III/Siliwangi untuk melakukan investigasi tentang keterkaitan oknum-oknum prajurit TNI yang terlibat secara langsung dalam tindakan kekerasan ini,” tegas Kristomei.
Eksplorasi konten lain dari Cinews.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.