Opini  

Pemerintah Membuka Kembali Sejarah Kelam Ekspor Pasir Laut

JAKARTA, cinews.id –  Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menandai keran ekspor pasir laut yang kembali dibuka pada tahun 2024 menjadi awal kontroversi.

Kebijakan itu memicu perdebatan, banyak pihak yang menilai kebijakan ini sebagai perwujudan dari dosa-dosa ekologis yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kebijakan yang awalnya mendapat penolakan luas tersebut, akhirnya diresmikan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 29 Agustus 2024.

Kedua aturan ini mengubah ketentuan terkait barang yang dilarang diekspor dan kebijakan serta pengaturan ekspor, sehingga membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sempat ekspor pasir laut sempat ditutup sejak tahun 2003 lampau.

Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, bahwa saat ini terdapat 66 perusahaan yang telah mengajukan izin untuk memanfaatkan pasir laut hasil sedimentasi yang dapat diekspor sesuai dengan PP Nomor 26 Tahun 2023.

Dan KKP pun terus melanjutkan pengkajian 66 perusahaan yang sedang mengajukan izin ekspor pasir laut.

Langkah itu tentunya sangat mengecewakan, selama ini masukan rakyat terkait ekspor pasir laut tidak didengar.

Alih-alih mendengar masukan publik, mengevaluasi serta menghentikan Peraturan Pemerintahan (PP) No. 26 Tahun 2023, KKP saat ini tengah mengkaji dan menyeleksi 66 perusahaan yang telah mengajukan izin untuk ekspor pasir laut,

Adanya perusahaan yang sedang mengajukan izin tambang pasir laut pun tidak transparan. Sehingga, publik tidak mengetahui perusahaan mana saja yang mendaftar untuk tambang pasir laut.

Tak cuma itu, proses seleksi perusahaan-perusahaan tersebut pun dipertanyakan, sebab dalam proses mengkaji dan menyeleksi tersebut juga dilakukan oleh KKP tanpa adanya transparansi dan keterbukaan kepada publik.

KKP diduga tengah menutupi sesuatu dengan sengaja terkait 66 perusahaan yang akan mendapat izin beserta rekam jejaknya.

Seharusnya semua proses itu dilakukan KKP secara transparan, agar rakyat tidak mencurigai tindakan pemerintah terkait tambang pasir laut.

Hal itu akan meningkatkan kekhawatiran akan dampak negatif terhadap ekosistem laut, mengingat eksploitasi pasir laut yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.

Sejarah Kelam Ekspor Pasir Laut

Diketahui, Sejak era Presiden Megawati Soekarno Putri hingga Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik eksploitasi pasir laut maupun dengan alasan semacam pemanfaatan sedimentasi hasil keruk untuk diekspor adalah aktivitas ilegal.

Pengerukan pasir laut untuk dijual ke luar negeri kala itu jadi kontroversi. Ini karena aktivitas ini membuat kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Imbasnya, nelayan terpuruk karena hasil tangkapannya merosot.

Dampak yang lebih ekstrem lagi, ekspor pasir laut memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat pasirnya dikeruk dan makin diperparah dengan abrasi setelahnya.

Salah satu daerah yang marak eksploitasi pasir laut adalah Kepulauan Riau. Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura.

Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipah di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura. Meskipun telah dilarang sejak 2003, ekspor pasir laut ke Singapura masih terus berlangsung secara ilegal setidaknya hingga 2012. Penyebabnya adalah harga pasir di Singapura lebih mahal dua kali lipat dari harga di dalam negeri.

Indonesia pertama kali melarang ekspor pasir laut pada 2003. Larangan ekspor itu dipertegas pada 2007 silam sebagai bentuk perlawanan aksi pengiriman pasir secara ilegal ke Negeri Singa.

Pada 2007 lalu, Freddy Numberi yang saat itu menjabat sebagai Menteri KKP mengakui bahwa ekspor pasir laut untuk reklamasi Singapura sempat menghilangkan dua pulau milik Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya menegaskan larangan ekspor tersebut.

“Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang, karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual ke Singapura. Jadi, ekspor pasir laut itu merugikan, karena itu saya hentikan,” tegasnya pada Mei 2007, dikutip dari Antara.

“Jadi, Indonesia nggak mendapatkan apa-apa dari ekspor pasir laut itu karena Indonesia juga dirugikan. Ada pulau yang hilang, lingkungan rusak, dan Indonesia harus keluar uang banyak untuk memulihkan,” sambung Freddy.

Pulau Nipah terletak di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Nipah adalah bagian dari gugusan pulau yang berada di bagian terluar Indonesia, di mana berbatasan di sebelah utara Singapura.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2004 lalu mengatakan pulau tak berpenghuni itu hampir tenggelam. Dari luas area sekitar 60 hektare saat air surut, hanya tinggal seonggok tanah tersisa tidak lebih dari 90×50 meter saat air pasang.

Soenarno yang saat itu menjabat sebagai Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah meninjau langsung Pulau Nipah yang berjarak 4,8 mil barat laut dari Pulau Batam itu. Ia menyebut butuh 2 juta kubik pasir untuk mereklamasi pulau tersebut.

“Paling tidak dibutuhkan dana Rp100 miliar untuk mereklamasi 60 hektare pulau ini,” kata Soenarno dalam kunjungan bersama Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri saat itu.

Dikutip dari laman Mothership, impor pasir luat dari Indonesia membuat Singapura untung berlipat. Luas daratan Singapura sebelum merdeka dari Malaysia adalah 578 kilometer persegi. Saat ini, luasnya sudah bertambah 719 kilometer alias sudah bertambah 25 persen lebih.

Proyek reklamasi besar pertama pasca-kemerdekaan adalah Reklamasi Pantai Timur (East Coast Reclamation). Proyek ini dijuluki dengan Great Reclamation. Proyek ini menargetkan lahan baru seluas 1.525 hektar di sepanjang wilayah pantai sisi tenggara negara ini.

Proyek-proyek reklamasi di Singapura sendiri selama ini dijalankan oleh Housing and Development Board (HDB), lembaga yang mengatur pembangunan gedung dan perumahan di seluruh Singapura.

Namun pertama-tama sebelum Great Reclamation digeber, proyek percontohan dilakukan oleh HDB pada tahun 1963 untuk mereklamasi 48 hektare di area Bedok.

Total biaya proyek Pantai Timur adalah 613 juta dollar Singapura. Pasir-pasir ini kebanyakan diimpor dari Kepulauan Riau, Indonesia.

M. Ibnu Ferry

Eksplorasi konten lain dari Cinews.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *