Lampung, CINEWS.ID – Setelah sejumlah tokoh, termasuk mantan Presiden Republik Indonesia (RI) ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa situasi politik dan ekonomi saat ini memiliki kemiripan dengan kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru, wacana kemungkinan terulangnya peristiwa Reformasi 1998 pun kembali mencuat.
Esensi peristiwa 1998 adalah pemberontakan rakyat terhadap sistem yang korup, kolutif dan nepotistik (KKN), dimana pada masa itu dipraktikkan oleh Presiden Soeharto dan kroni-kroninya.
Ada pun Reformasi 1998 didorong kuat oleh kemarahan rakyat terhadap praktik KKN yang telah merajalela selama lebih dari tiga dekade pemerintahan Soeharto. Kala itu, kesenjangan ekonomi semakin melebar, krisis moneter menghantam keras, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara anjlok.
Baca juga :
Konsep OBOR China Menerkam Indonesia
Kini, setelah dua dekade lebih usai Reformasi, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik KKN itu terulang dan semakin terang-terangan dengan sekala yang lebih besar, seolah tidak ada lagi batas konstitusional yang mampu membendungnya.
Di masa kepemimpinan Jokowi, Nepotisme tidak lagi bersembunyi di balik tirai kekuasaan, melainkan dengan gamblang menampilkan wajahnya di hadapan rakyat. Penempatan anggota keluarga di posisi strategis, baik di pemerintahan maupun di partai politik, adalah bentuk eksploitasi kekuasaan yang mencederai demokrasi. Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang baru seumur jagung dalam dunia politik, kini menjadi Wakil Presiden terpilih.
Baca juga :
- Apa Itu OBOR, Jalur Sutra Modern China yang Jadi Polemik RI?
- Satu Dekade OBOR China, Indonesia Untung Atau Buntung ?
- Jokowi Sebut Inisiatif Sabuk dan Jalan yang Digagas Tiongkok Tak Boleh Dipolitisasi
Tak hanya itu, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep dengan mulus menjadi Ketua Umum PSI sebuah partai yang kini tampak lebih sebagai kendaraan politik dinasti ketimbang wadah aspirasi publik.
Pada masa kekuasaan Jokowi, kebijakan ekonomi lebih berpihak pada oligarki, eksploitasi sumber daya alam yang semakin rakus, serta tumpulnya hukum terhadap kejahatan korupsi semakin menguatkan anggapan bahwa reformasi telah dikhianati oleh penguasa sendiri.
Kondisi ekonomi saat ini sedang tidak baik-baik saja, sama seperti menjelang 1998. Utang negara melonjak drastis, daya beli masyarakat melemah dan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Krisis ekonomi yang dahulu dipicu oleh jatuhnya nilai tukar rupiah kini berulang dengan bentuk yang berbeda, utang luar negeri yang semakin menggunung tanpa diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Anggaran negara pun semakin terkuras untuk membiayai proyek-proyek mercusuar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), yang tak lebih dari ambisi segelintir elite.
ketidakpuasan rakyat semakin meningkat. Kelompok buruh, mahasiswa, petani, hingga akademisi mulai bersuara lantang. Demonstrasi menolak berbagai kebijakan pemerintah terus berlangsung, mulai dari omnibus law, revisi KUHP, hingga yang terbaru, protes terhadap dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan secara sistematis.
Dahulu, nepotisme yang di lakukan pada era Soeharto masih tertutup dengan berbagai alasan profesionalisme dan keahlian, namun sekarang, nepotisme di era Jokowi benar-benar telanjang tanpa rasa malu. Bahkan, batasan-batasan konstitusional pun diterobos demi melanggengkan kepentingan keluarga.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju dalam Pilpres 2024 merupakan bukti bahwa aturan bisa dipermainkan demi kepentingan segelintir orang. Lebih parahnya lagi, putusan tersebut dihasilkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Anwar Usma yang tak lain adalah ipar Jokowi sendiri, sebuah praktik nepotisme yang mencoreng marwah demokrasi dan independensi hukum.
Konstitusi yang seharusnya menjadi benteng pertahanan dari praktik korupsi kekuasaan justru dijadikan alat legitimasi bagi kepentingan politik dinasti. Inilah kondisi yang membuat publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum dan politik di Indonesia.
Jika berkaca pada Reformasi 1998, perubahan besar terjadi karena rakyat bersatu dalam satu gelombang perlawanan yang kuat. Mahasiswa, buruh, aktivis, dan masyarakat sipil bergerak bersama, melawan kesewenang-wenangan kekuasaan.
Tanda-tanda ke arah itu semakin jelas terlihat. Ketidakpuasan rakyat yang terus meningkat, ketidakadilan yang semakin nyata, serta kebijakan yang semakin menyengsarakan masyarakat adalah bahan bakar yang bisa menyulut api perlawanan.
Jokowi dan kroni-kroninya mungkin dapat mengendalikan kekuasaan dengan tangan besinya, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa rezim yang bertumpu pada kekuatan oligarki dan nepotisme tidak akan bertahan lama. Ketika rakyat sudah kehilangan kesabaran, perubahan akan terjadi, entah dalam bentuk reformasi jilid dua atau gerakan yang lebih dahsyat lagi.
“Mungkinkah Reformasi 1998 terulang, kapan ledakan itu akan terjadi?”.