Hukum  

Akuisisi PT Jembatan Nusantara Oleh ASDP Setelah Pergantian Jajaran Dewan Komisaris

Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo saat konferensi pers penahanan tiga tersangka kasus korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Perada, Jakarta Selatan pada, Kamis (13/2/2025 malam,

JAKARTA – Plh Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Sukmo mengungkapkan, akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dilakukan setelah adanya pergantian jajaran dewan komisaris.

Mereka yang ditahan adalah mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi; mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan, Harry MAC; dan mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Muhammad Yusuf Hadi. Sementara Adjie yang merupakan pemilik PT Jembatan Nusantara tak dilakukan upaya paksa karena kondisi kesehatannya.

Budi saat itu menjelaskan Adjie sebenarnya sudah menawarkan akuisisi perusahaannya pada 2014. Tapi, sebagian direksi dan dewan komisaris menolak.

“Dengan alasan bahwa kapal-kapal milik PT JN umurnya sudah tua dan PT ASDP cenderung lebih memprioritaskan rencana pengadaan atau pembangunan kapal baru,” kata Budi dikutip dari YouTube KPK RI, Jumat (14/2/2025).

Setelah Ira diangkat jadi Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry pada 2018, Adjie kemudian kembali menawarkan perusahaannya. Pertemuan kemudian digelar dengan diikuti Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Muhammad Yusuf Hadi.

Dari penawaran itu, akhirnya PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) lebih dulu melakukan kerja sama usaha tahun 2019-2020 dan diperpanjang dari tahun 2021-2022. Tanda tangan nota kesepahaman dilakukan Ira dan Rudy Susanto selaku Direktur PT Jembatan Nusantara.

“Dan pada 23 Agustus 2019 ditandatangani 23 Agustus 2019 ditandatangani kontrak induk kerja sama usaha,” tegas Budi.

Selanjutnya, Ira mengirimkan surat kepada dewan komisaris PT ASDP perihal permohonan persetujuan tertulis atas kerja sama usaha dengan PT Jembatan Nusantara. Tapi, dia juga mengirim surat kepada Menteri BUMN.

Surat itu, sambung Budi, isinya berbeda karena Ira menjelaskan sedang ada proses penjajakan untuk akuisisi perusahaan swasta itu lewat sistem kerja sama usaha. “Komisaris utama pada saat itu tidak menyetujui rencana akuisisi PT JN oleh PT ASDP,” jelasnya.

Untuk memastikan PT Jembatan Nusantara layak diakuisisi, ada sejumlah pengaturan yang dilakukan. Di antaranya memprioritaskan pemberangkatan kapal milik perusahaan itu dibanding kapal PT ASDP.

Langkah ini dilakukan dengan tujuan agar kondisi keuangan perusahaan tersebut terlihat layak diakuisisi. Pembahasannya pun baru dilaksanakan pada 2020 setelah dilakukan pergantian dewan komisaris pada April 2020.

Selain itu, ira juga memerintahkan tim untuk menyusun draf karena PT ASDP belum punya pedoman internal pelaksanaan proses bisnis tersebut. Akuisisi kemudian dilakukan direksi saat RJPP tahun 2020-2024 yang disetujui dewan komisaris baru.

Tak sampai di situ, Budi juga mengungkap adanya perintah direksi PT ASDP agar KJPP MBPRU merekayasa penilaian 53 kapal milik PT Jembatan Nusantara. Sebab, hasilnya memengaruhi proses yang berjalan.

Kemudian ada beberapa kali pertemuan antara Ira, Yusuf, dan Harry Muhammad untuk membahas nilai akuisisi. Budi bilang nilai akhir yang disepakati adalah Rp1,272 triliun, “dengan rincian Rp892 miliar untuk nilai saham termasuk penghitungan nilai 42 kapal milik PT JN dan sebesar Rp380 miliar untuk nilai 11 kapal afiliasi PT JN dan manajemen baru yang akan meneruskan utang PT JN,” ungkap Budi.

Akibat praktik lancung ini, negara kemudian merugi hingga Rp893.160.000.000. Para tersangka kemudian disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak P