Menanggapi Draf RUU Penyiaran, KPK Sebut Jurnalisme Investigasi Mitra Pemberantasan Korupsi

JAKARTA, cinews.id – Komisi I DPR RI memasukkan pasal larangan penayangan karya jurnalisme investigasi dalam draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran). Jurnalisme investigasi di klaim bisa menganggu proses pro justitia aparat penegak hukum dan membentuk opini publik dalam proses penegakan hukum.

Menurut Anggota Komisi I DPR, Mayor Jenderal (Mayjen) (Purnawirawan) TB Hasanuddin, DPR tidak memiliki niat untuk memberangus kebebasan pers dengan memuat pasal yang melarang siaran eksklusif jurnalisme investigasi, pelarangan diusulkan guna mencegah terpengaruhinya opini publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Hasanuddin menyebut soal pelarangan konten eksklusif jurnalisme investigasi ini masih didiskusikan, karena jurnalisme investigasi itu ada banyak hal yang berpengaruh.

Menanggapi hal itu, Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, media merupakan mitra strategis KPK dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.

“Melihat kembali histori pemberantasan korupsi, media merupakan mitra strategis KPK dalam melakukan upaya dan tugas-tugas pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk jurnalistik data, investigasi, ataupun bentuk lainnya,” kata Ali dalam keterangannya pada, Senin (13/5/2024).

Menurut Ali, media hadir sebagai wadah informasi, edukasi, sekaligus kontrol sosial terhadap kinerja pemberantasan korupsi. Alasannya, media memotret berbagai fakta sosial yang terjadi di masyarakat, salah satunya persoalan korupsi.

Karena itu menurut Ali, kerja-kerja media yang objektif dan berdasarkan fakta adalah mitra kolaborasi yang positif bagi pemerintah, termasuk pemberantasan korupsi.

“Terlebih media adalah pilar keempat demokrasi di Indonesia,”jelas Ali.

“Sehingga media dengan prinsip independensinya diharapkan dapat menyajikan suatu data dan peristiwa tanpa memiliki orientasi atau keberpihakan pada salah satu pihak dan tetap memegang kepentingan publik sebagai prinsip utama,” papar Ali.

Untuk di ketahui, dari Draf RUU Penyiaran yang diperoleh CIN, berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal. Dalam draf RUU Penyiaran tertanggal 27 Mei 2024 tersebut terdapat sejumlah pasal yang dikritik publik lantaran berpotensi mengancam kebebasan pers.

Adapun pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran itu yakni Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c.

Di pasal 8A huruf q memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada Undang-Undang Pers.

Kemudian pada pasal 50 B Ayat 2 huruf c mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dalam catatan rapat pembahasan draf RUU ini, Komisi I beralasan pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights