Rehabilitasi Nama Soekarno dari Tuduhan Dukung G-30-S/PKI, TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 Dicabut

JAKARTA, cinews.id – Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo menyerahkan Dokumen yang ditandatangani 10 pimpinan MPR kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas dan Ahli Waris Keluarga Besar Presiden RI pertama Soekarno. Surat Pimpinan MPR ini menjadi jawaban atas Surat MenkumHAM Nomor: M.HHHH.04.01-84 tanggal 13 Agustus 2024 perihal Tindak Lanjut Tidak Berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.

“Melalui surat tersebut, pimpinan MPR menegaskan bahwa secara yuridis tuduhan terhadap Presiden Soekarno yang dianggap memberikan kebijakan yang mendukung pemberontakan dan pengkhianatan G-30-S/PKI pada tahun 1965, dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960-2022,” kata Bamsoet pada, Senin (9/9/2024).

Menurut Bamsoet, TAP MPRS No. XXXIII / MPRS / 1967 telah dinyatakan sebagai kelompok Ketetapan MPRS yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut. Baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

“Namun demikian, meskipun TAP MPRS Nomor XXXIII/ MPR/1967 tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi, namun masih menyisakan persoalan yang bersifat psikologis dan politis yang harus dituntaskan karena tidak pernah dibuktikan menurut hukum dan keadilan, serta telah bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum sesuai ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945,” terang Bamsoet.

Acara kegiatan itu berlangsung dalam Silaturahmi Kebangsaan dan penyerahan dokumen Surat Pimpinan MPR kepada Menkumham RI dan Keluarga Besar Bung Karno yang diwakili oleh Guntur Soekarno Putra dan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, di Ruang Delegasi MPR RI.

Bamsoet menjelaskan Surat Pimpinan MPR tersebut juga menjadi komitmen MPR RI dalam mengawal pemulihan nama baik Presiden Soekarno. Khususnya atas ketidakpastian hukum yang adil, yang ditimbulkan dari penafsiran terhadap Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.

Pihaknya juga berupaya memulihkan hak-hak Bung Karno sebagai warga negara dan Presiden Republik Indonesia. Pasalnya, Bung Karno merupakan satu-satunya Presiden RI yang tidak memperoleh hak-hak pensiunnya sebagai seorang presiden, termasuk tidak mendapatkan hak perumahan sebagaimana Presiden RI lainnya.

“Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap hal ini. Pemberian hak pensiun terhadap Presiden Soekarno bukan semata untuk diri pribadi maupun keluarga besar Presiden Soekarno, melainkan untuk bangsa Indonesia pada umumnya. Menunjukkan bahwa sebagai sebuah bangsa yang besar, kita telah memberikan penghormatan dan penghargaan terhadap para presiden yang telah membaktikan dirinya untuk kemajuan Indonesia,” jelas Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, pemulihan nama baik Presiden Soekarno juga sudah dilakukan oleh para Presiden RI. Pada Tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 83/TK/Tahun 2012 telah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Dr. (H.C.) Ir. Soekarno.

Presiden Joko Widodo pada 7 November 2022 saat pidato kenegaraan di Istana Merdeka telah menegaskan bahwa dengan telah diterimanya gelar Pahlawan Nasional dari Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono, Dr (H.C.) Ir. Soekarno dinyatakan telah memenuhi syarat setia, yakni tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan.

“Pasal 25 huruf e UU No.20/2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebutkan salah satu syarat pemberian gelar Pahlawan Nasional yaitu setia dan tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara. Dengan demikian, secara yuridis formal, dapat dipastikan bahwa Bung Karno adalah Pahlawan Nasional yang hidupnya bersih dari cacat hukum dan tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara yang Bung Karno telah memproklamirkan sendiri kemerdekaannya,” terang Bamsoet.

Ia menambahkan, pengakuan atas peran, kontribusi, dan jasa-jasa Presiden Soekarno telah menjadi bagian dari warisan dunia. Nama Soekarno diabadikan di berbagai negara, di kota Saint Petersburg, Rusia, ada Masjid Biru Soekarno.

Di kota Aljir, Aljazair, ada monumen Soekarno. Di Meksiko, ada Taman Kota ‘Soekarno Parque’. Di Kota Rabbat, Maroko, ada jalan ‘Rue Soekarno’ atau ‘Avenue Soekarno’. Di Pakistan, selain ‘Soekarno Square’, juga ada ‘Soekarno Bazar’. Di kota Kairo, Mesir, ada ‘Ahmed Soekarno Street’ dan di Kota Ankara, Turki, ada Jalan Ahmed Soekarno.

“Jika dunia begitu mengapresiasi Soekarno, pantaskah bangsanya sendiri meragukan jasa dan kesetiaan Bung Karno kepada bangsa dan negara. Ke depan, tidak boleh ada warga negara kita, apalagi seorang pemimpin bangsa, yang harus menjalani sanksi hukuman apapun tanpa adanya proses hukum yang adil,” tegas Bamsoet.

“Jangan ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu, apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu. Mari Kita Warisi Api Perjuangan Para Pemimpin Bangsa, Jangan Kita Warisi Abunya,” pungkasnya.

Acara pertemuan ini dihadiri putra-putri Presiden Soekarno antara lain, Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputeri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Mohammad Bayu Soekarno Putra, Kartika Sari Soekarno, Keluarga Almarhum Rachmawati Soekarno Putri, dan Keluarga Almarhum Mohammad Taufan Soekarno beserta cucu dan cicit Keluarga Besar Bung Karno.

Hadir pula Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Yandri Susanto, dan Hidayat Nur Wahid. Hadir pula Hakim MK Arief Hidayat, Sekretaris Menkopolhukam Letjen TNI Teguh Pudjo Rumekso, Menko Polhukam ke-14 Mahfud MD, dan Menkumham ke-30 Yasonna Laoly.

Dominasi Narasi Tinggal

Perlu diketahui, salah satu faktor utama yang membuat Soekarno terjebak dalam stigma keterlibatan G30S/PKI adalah dominasi narasi tunggal yang dikendalikan oleh kekuatan media, baik domestik maupun internasional.

Selama rezim Orde Baru di bawah Suharto, sejarah peristiwa G30S/PKI disajikan dalam bingkai hitam-putih yang memperlihatkan Soekarno sebagai figur yang setidaknya memiliki simpati terhadap komunisme, meski tidak secara langsung terlibat dalam pemberontakan. Dalam pelajaran sejarah selama rezim Orde Baru, G30S/PKI dijadikan alat propaganda politik untuk melegitimasi kekuasaan Suharto dan menghilangkan peran penting Soekarno dalam narasi bangsa.

Drama politik ini didukung oleh penghapusan bukti-bukti sejarah yang berlawanan, termasuk dokumen-dokumen internasional yang mengungkapkan keterlibatan pihak asing dalam penggulingan Soekarno. Sejak tahun 1966 hingga pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, nama baik Bung Karno dicoreng oleh penggambaran sistematis yang menyudutkannya.

Publik terjebak dalam narasi yang dipaksakan, tanpa mendapatkan ruang untuk menilai secara kritis dan obyektif mengenai apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa G30S/PKI. Pencabutan ketetapan tersebut pada akhirnya membuka ruang untuk pelurusan sejarah yang sudah lama dinanti-nantikan.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu faktor utama yang membuat posisi Soekarno rentan adalah kebijakan luar negerinya yang tidak berpihak pada blok Barat, terutama Amerika Serikat.

Soekarno dengan lantang menentang imperialisme dan kolonialisme, serta menjalin hubungan erat dengan negara-negara di blok Timur seperti Uni Soviet dan Tiongkok. Ini membuatnya menjadi musuh bersama bagi kekuatan Barat yang khawatir akan pengaruh komunisme di kawasan Asia Tenggara.

Rehabilitasi nama baik Soekarno merupakan bentuk perlawanan terhadap narasi sejarah yang selama tiga dekade dikuasai oleh kekuatan politik Orde Baru. Proses rehabilitasi ini berusaha mengembalikan Soekarno pada tempatnya yang benar dalam sejarah sebagai proklamator dan Bapak Bangsa, serta meluruskan stigma negatif yang menempel pada dirinya akibat narasi sejarah yang dipelintir.

M. Ibnu Ferry

Eksplorasi konten lain dari Cinews.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *