Daerah  

Mantan Bupati Langkat Divonis Bebas Dalam Kasus Kerangkeng Manusia

STABAT, cinews.id – Mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin lolos dari tuntutan 14 tahun penjara pada kasus kerangkeng manusia dengan empat korban meninggal. Majelis hakim Pengadilan Negeri Stabat menilai, Terbit tidak terkait dalam kasus tindak pidana perdagangan orang dan sudah ada yang bertanggung jawab atas kematian korban.

Majelis hakim yang diketuai Andriyansyah dengan anggota Cakra Tona Parhusip dan Dicki Irvandi juga menolak permohonan pembayaran biaya restitusi (ganti rugi pelaku terhadap korban) sebesar Rp 2,3 miliar yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Hakim juga meminta agar pabrik kelapa sawit yang disita agar segera dikembalikan kepada Terbit.

”Majelis hakim berpendapat, perbuatan terdakwa tidak terbukti sah dan meyakinkan karena tidak ada keterkaitan terdakwa terhadap apa yang dialami anak binaan,” kata Hakim Ketua Andriyansyah di Langkat, Senin (8/7/2024).

Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah kasus ketiga yang dijalani Terbit alias Cana. Cana awalnya ditangkap KPK atas kasus suap saat menjabat Bupati Langkat pada Januari 2022. Dia sudah dijatuhi vonis 7,5 tahun penjara di tingkat kasasi atas kasus itu.

Kasus TPPO diselidiki karena saat penggeledahan rumah Cana, KPK menemukan kerangkeng mirip penjara berisi 57 orang di halaman belakang rumahnya. Selain itu, ditemukan juga satwa dilindungi di halaman rumahnya. Dia juga telah diadili atas kepemilikan satwa dilindungi itu.

Dalam pertimbangan putusan majelis hakim, Andriyansyah menyebut, Cana membangun kerangkeng di halaman belakang rumahnya untuk pembinaan warga pencandu narkoba. Dia membangun dua kamar berukuran 5 meter x 6 meter dengan teralis besi di dinding depan.

Kerangkeng mirip penjara itu digunakan untuk mengurung pencandu narkoba. Pengelolaan kerangkeng itu dilakukan oleh orang yang sehari-hari mereka sebut sebagai ”kepala lapas”.

Dia juga dibantu palkam (kepala kamar), yakni warga binaan yang ditunjuk ”kepala lapas”. Ada juga istilah ”bebas kereng” untuk binaan yang tidak masuk ”kereng” lagi dan ”anak kereng”, yaitu warga binaan yang masih harus dikurung. ”Kereng” adalah penyebutan untuk kerangkeng.

Saat beraktivitas pada 2010 sampai 2021, Andriyansyah menyebut, empat orang meninggal dalam kerangkeng, yakni Abdur Sidik Isnur, Sarianto Ginting, Dodi Santoso, dan Isal Kardi.

Mereka mengalami penyiksaan oleh pengelola kerangkeng berupa kekerasan fisik. Penghuni kerangkeng dipukul, dicambuk, jenggot dicabut hingga ke akar, diludahi, ditetesi plastik bakar, hingga disuruh oral seks.

Penghuni kerangkeng juga diminta bekerja tanpa upah di kebun dan pabrik kelapa sawit milik Cana, yakni PT Dewa Rencana Perangin-Angin.

Majelis hakim menyebut, keterlibatan Cana dalam merencanakan dan melakukan permufakatan jahat sebagaimana didakwakan JPU tidak terbukti. Majelis menilai, Cana tidak terkait dengan kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

”Terdakwa tidak ada kesengajaan dan kelalaian atas tindak pidana yang dimaksud. Pada dasarnya tidak terungkap adanya fakta niat jahat terdakwa,” kata Andriyansyah.

Andriyansyah menyebut, JPU juga tidak bisa membuktikan adanya kerja sama dan kesamaan kehendak antara terdakwa Cana dan pelaku TPPO lainnya.

Majelis hakim berpendapat, perencanaan dan permufakatan jahat dalam TPPO itu dilakukan Terang Ukur sebagaimana diterangkan warga binaan kerangkeng di persidangan.

Terang sudah dijatuhi hukuman atas TPPO itu bersama tiga pelaku lainnya, yakni Hendra Surbakti, Hermanto Sitepu, dan Iskandar Sembiring.

”Tindak pidana sebagaimana didakwakan terebut telah dipertanggungjawabkan pelakunya,” kata Andriyansyah.

Majelis hakim juga menolak permohonan penuntut umum yang meminta agar pabrik kelapa sawit PT Dewa Rencana Peranginangin disita untuk menjamin pembayaran restitusi. Menurut Majelis hakim, pabrik itu harus segera dikembalikan karena kejahatan TPPO itu tidak dilakukan oleh Cana meskipun pabrik menjadi tempat kejahatan atau locus delicti oleh pelaku lain.

Majelis hakim menilai, enam pasal dakwaan TPPO yang diajukan JPU tidak ada yang terbukti.

”Menimbang bahwa semua dakwaan penuntut umum tidak terbukti, secara hukum terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya,” kata Andriyansyah.


Eksplorasi konten lain dari Cinews.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *