Anggota Komisi III DPR Mendorong Revisi KUHAP Mengatur Pencegahan Disparitas Hukum

Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo saat rapat di Komisi III DPR RI, Senin (10/2/2025).

Jakarta, CINEWS.ID – Dalam rapat di Komisi III DPR dengan agenda meminta masukan dari Komisi Yudisial (KY) terkait subtansi hukum acara pidana. Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo Revisi Undang-undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didorong mengatur soal pencegahan disparitas hukuman.

Menurutnya, Hal ini guna mencegah aparat penegak hukum (APH) menjatuhkan hukuman semena-mena.

“Menurut saya penting dimasukkan supaya betul-betul ada kontrol, hukum acara sebagaimana mekanisme kontrol, pengawasan, supaya APH kita tidak semena-mena,” kata Rudianto di Ruang Rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025).

Rudianto mengusulkan hal itu merujuk pada kasus rasuah yang nilai korupsinya rendah tetapi dihukum berat. Sedangkan, koruptor yang nilai korupsinya tinggi justru dihukum rendah.

“Soal pemidanaan, disparitas putusan, contoh ya, ada kasus tipikor (tindak pidana korupsi) nilai kerugian hanya Rp10 miliar, Rp20 miliar. Ada kasus Tipikor nilai kerugiannya triliunan, putusannya lebih rendah. Dakwaan jaksa yang nilainya fantastis ketimbang yang kerugian negaranya lebih rendah,” ucap Rudianto.

Wakil Ketua Mahkamah Partai NasDem itu juga menekankan pentingnya mengatur pengawasan terhadap hakim di revisi KUHAP. Karena perilaku hakim kerap disorot publik ketika putusannya dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.

“Karena itu perlu memang diatur secara komprehensif dalam rumusan KUHAP bagaimana pengawasan hakim ini, memang di satu sisi kekuasaan kehakiman ini independen, mandiri, dan betul-betul tidak bisa kita kontrol secara langsung kecuali perilakunya,” ujar Rudianto.

Selain itu, dia juga mendorong revisi KUHAP mengatur soal hak ingkar. Hak ini terkait dengan hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan dan disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

“Soal hakim yang sudah pernah menangani kasus, di tingkat pertama atau di tingkat banding tiba-tiba dia menjadi hakim agung. Rupanya ketika sudah menjadi hakim agung masih menangani kasus yang sama waktu dia masih menjadi ketua pengadilan, misalkan, ini contoh saja. Ini juga tidak diatur,” kata Rudianto.