JAKARTA, Cinews.id – Meskipun dikemas sebagai forum strategis untuk membahas isu-isu krusial, seperti peran media dalam pembangunan bangsa dan tantangan di era digital, namun banyak pihak menilai, Hari Pers Nasional (HPN) 2025 lebih condong pada seremonial yang menghabiskan anggaran dan tidak membawa manfaat signifikan.
Acara itu dirancang dengan berbagai agenda seperti seminar, diskusi, dan konvensi nasional untuk membahas isu-isu strategis seputar dunia pers itu pun belakangan memunculkan polemik dan kontroversi, lantaran adanya dua kubu kepengurusan PWI di Indonesia.
Kedua kubu kepengurusan PWI itu sama-sama menyebarkan berita bahwa Presiden Prabowo Subianto akan hadir di HPN 2025 di tempat penyelenggaraan HPN versi masing-masing.
Kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) versi Zulmansyah Sekedang hasil Kongres Luar Biasa (KLB) telah menunjuk Provinsi Riau sebagai tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang direncanakan berlangsung pada 6-9 Februari 2025.
Namun disisi lain, kepengurusan pusat PWI versi Hendry Ch Bangun yang sebelumnya sudah dipecat keanggotaannya oleh Dewan Kehormatan PWI, menunjuk Kalimantan Selatan sebagai tuan rumah penyelenggara HPN tahun ini.
Acara HPN itu pun menuai polemik karena diketahui legalitas kedua kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menjadi motor utama kegiatan tersebut masih dipertanyakan. Polemik legalitas ini didasarkan pada fakta bahwa kedua kepengurusan PWI yang mengklaim sebagai representasi organisasi wartawan tidak memiliki pengesahan resmi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Situasi ini memunculkan desakan dari sejumlah pihak agar Presiden Prabowo Subianto tidak menghadiri puncak acara HPN 2025 tersebut untuk menghindari kontroversi yang dapat menurunkan kredibilitas dan harga diri Presiden Prabowo Subianto di mata publik.
Sebab, kedua kepengurusan pusat PWI itu tidak ada pengesahan dari Kemenkumham (saat ini Kementerian Hukum, Imigrasi, dan Pemasyarakatan – red).
Hal itu tentunya menimbulkan keraguan terhadap legalitas dan legitimasi acara yang di adakan oleh dua kubu PWI itu.
Sebab jika Presiden hadir, akan berpotensi dianggap sebagai pengakuan terhadap salah satu kepengurusan organisasi yang status hukumnya belum jelas tersebut.