Perwakilan Masyarakat Adat Dayak Kaltim Menggugat UU IKN ke MK Soal HGU Hingga 100 Tahun

Jakarta, CINEWS.ID – Perwakilan Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Timur (Kaltim) mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Masyarakat Dayak Kaltim meminta MK untuk membatalkan Pasal 16A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tentang pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai kepada investor dengan jangka waktu yang terlalu lama, hingga 100 tahun.

Pemohon gugatan Stepanus Febyan Babaro mengatakan masyarakat adat merasa cemas, takut, dan khawatir karena pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai dengan jangka waktu yang terlalu lama itu lebih memprioritaskan investor daripada melindungi hak-hak masyarakat adat.

“Kebijakan dua siklus HGU dan HGB jelas melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang telah mengatur tata cara dan jangka waktu pemberian hak atas tanah dalam membentuk HGU dan HGB,” kata Stepanus dalam permohonannya di Gedung MK pada Selasa (4/3/2025).

Menurut Stepanus, pemberian konsesi tanah dalam jangka waktu berabad tersebut berpotensi semakin menyisihkan masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Ia juga merasa khawatir bahwa pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang lama akan memperkecil kesempatan masyarakat adat untuk melestarikan tanah leluhur dan budaya mereka.

Menurut dia pemberian hak dengan jangka waktu terlalu lama dapat mengorbankan kepentingan generasi mendatang yang seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengelola dan memanfaatkan tanah sesuai dengan kebutuhan di masa depan.

“Tanah adalah sumber daya terbatas, oleh karena itu pengaturannya harus memperhatikan keberlanjutan untuk generasi selanjutnya,” jelas Stepanus.

Mafia agraria yang semakin merajalela turut membuat Pemohon pesimistis terhadap perlindungan tanah-tanah adat, khususnya di Kalimantan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik baru yang merugikan masyarakat adat Dayak dan generasi mendatang.

“Jika HGU diberikan pada tahun 2025 untuk jangka waktu 95 tahun, hak ini baru akan berakhir pada tahun 2120. Selama hampir satu abad, generasi mendatang tidak akan memiliki akses untuk mengelola tanah tersebut, meskipun ada kebutuhan mendesak di masa depan,” jelasnya.

Selain itu, Stepanus menegaskan pemberian hak dalam jangka waktu lama tersebut juga mengancam kelestarian budaya dan identitas lokal hingga membunuh hak masyarakat adat dalam mengelola tanahnya sendiri.

“Sistem hukum nasional yang lebih dominan dan dapat menggantikan dan menghapuskan sistem hukum adat yang sudah berlaku turun-menurun,” tuturnya.

Lebih jauh, pemberian hak atas tanah dalam jangka ratusan tahun dinilai dapat menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, sehingga masyarakat berpotensi mengalami kerugian konstitusional secara aktual dan potensial. Beberapa insiden konflik yang kerap muncul terkait persoalan HGU, HGB dan Hak Pakai atas tanah.

Banyak kasus tanah masyarakat adat di berbagai daerah telah diambil alih oleh perusahaan. Kebijakan ini berpotensi memperparah situasi tersebut, terutama bagi masyarakat adat Dayak di Kalimantan. Penerapan Pasal 16A UU 21/2023 dinilai dapat memperpanjang sejarah konflik agraria di Indonesia.

“Ada sengketa 72 orang petani dengan PT DDP di atas lahan kisaran 400 hektare. Juga terdapat 45 petani yang berkonflik dengan PT BBS di Kabupaten Muko-Muko di atas areal sengketa 300 hektare,” beber Stepanus.

Stepanus mengatakan terdapat tumpang tindih aturan terkait jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai. Dijelaskan bahwa Pasal 16A UU 21/2023 mengatur jangka waktu HGU hingga 95 tahun (dapat diperpanjang), HGB hingga 80 tahun, dan Hak Pakai hingga 80 tahun. Sementara itu, Pasal 9 Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN juga mengatur hal serupa.

“Tumpang tindih ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan masyarakat adat,” katanya.

Atas dasar itu, Stepanus meminta MK untuk menyatakan Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU 21/2023 bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional.

Jika tidak dibatalkan, ia meminta agar pasal tersebut dimaknai dengan batasan waktu yang lebih singkat, yaitu HGU maksimal 25 tahun (dapat diperpanjang 25 tahun), HGB maksimal 30 tahun (dapat diperpanjang 20 tahun), dan Hak Pakai maksimal 25 tahun (dapat diperpanjang 25 tahun). Hal ini diharapkan dapat melindungi hak-hak masyarakat adat dan mencegah konflik agraria di masa depan.

Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa dalil pemohon yang menggunakan frasa ‘cemas, takut, dan khawatir’ dinilai terlalu subjektif untuk bisa dinilai dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

“Kalau kerugiannya dalam bentuk ongkos itu sudah jelas misalnya bersifat aktual dan potensial, jadi ini ‘takut, cemas, dan khawatir’ tidak lazim dan tidak jelas,” jelas Masyur.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan kedudukan legal standing pemohon belum jelas. Menurutnya, permohonan masih kabur dalam menjelaskan apakah ia perseorangan atau bagian dari masyarakat adat yang terkena dampak.

Kendati isu yang diajukan bersifat penting untuk dibahas dalam persidangan mahkamah, para hakim meminta kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan agar lebih komprehensif dan aktual. Selain itu, pemohon diminta untuk memberikan studi kasus terkait kasus pemberian hak atas tanah yang terjadi negara lain sebagai sebuah perbandingan.

“Saudara mempunyai waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Dan perbaikan dokumen hard dan short copy harus diserahkan paling lambat Senin 17 Maret 2025,” ujar Hakim Konstitusi Arief.