Jakarta, CINEWS.ID – Revisi Undang-Undang Kejaksaan berpotensi memperluas kewenangan Kejaksaan, tanpa diimbangi penguatan pengawasan maka akan sangat kuat bersinggungan dengan menurunnya kualitas penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia.
Poin penting yang berpotensi menggerus penegakan HAM, yakni terkait penyadapan, pada hal itu merupakan peran dan fungsi intelijen negara.
Meski Kejaksaaan punya kewenangan, namun hal itu tak dibenarkan. Sebab, RUU Kejaksaan memperbolehkan penggunaan intelijen negara dalam proses penggalian alat bukti melalui penyadapan.
Kedua, terkait kewenangan perlindungan saksi dan korban. Sebab, hal itu akan berpotensi mengganggu sistem peradilan pidana terpadu karena tidak disinkronisasi dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Kewenangan perlindungan saksi dan korban ini justru mengganggu kinerja LPSK yang memiliki tugas mendampingi saksi dan korban, pengambil-alihan tugas dan kewenangan LPSK oleh Kejaksaan ini berpotensi adanya intimidasi dari berbagai pihak.
Karena di sisi lain Kejaksaan memiliki wewenang untuk dapat menuntut seseorang yang melakukan pelanggaran hukum. Ini akan memunculkan permasalahan baru di kemudian hari.
Maka dengan adanya pengaturan yang semakin terpusat pada Kejaksaan, akan berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lain, seperti Kepolisian dan Kehakiman dan tidak menutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Hal ini dikhawatirkan akan melemahkan prinsip checks and balances, yang selama ini berfungsi untuk menjaga independensi masing-masing lembaga.
Kejaksaan memegang kendali penuh, tidak ada yang dapat memastikan tidak ada intervensi politik atau kepentingan tertentu yang memengaruhi jalannya proses hukum. Karena, Keputusan Jaksa dalam menentukan kelanjutan suatu perkara dikhawatirkan bisa terpengaruh oleh faktor eksternal, seperti tekanan politik atau kepentingan tertentu.
Penentuan kelanjutan perkara yang semata-mata berada di tangan Jaksa tanpa adanya pengawasan dari lembaga lain yang independen dapat menciptakan ketidakadilan sistemik.
Meskipun tujuan dari revisi ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dalam penegakan hukum, tanpa pengawasan yang ketat, ada risiko yang sangat besar dalam penyalahgunaan kewenangan.
Pemerintah dan legislatif diharapkan segera melakukan kajian mendalam terhadap perubahan ini. Mereka juga menyerukan perlunya sistem pengawasan yang ketat agar asas Dominus Litis dapat diterapkan tanpa disalahgunakan.
Tanpa pengawasan yang tepat, Indonesia bisa terjebak dalam sistem hukum yang timpang, di mana kekuasaan yang terlalu besar ada di tangan satu lembaga, mengancam prinsip keadilan yang selama ini dijaga dengan hati-hati.
Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan sistem hukum yang transparan, adil, dan akuntabel.
Pemerintah diharapkan segera merespon kekhawatiran ini agar pemberlakuan asas Dominus Litis tidak justru merusak pondasi sistem hukum di Indonesia dan memastikan bahwa proses hukum tetap adil, transparan, serta menghormati hak asasi manusia.
Revisi ini bisa menjadi langkah positif jika diimbangi dengan pengawasan yang efektif, tetapi tanpa itu, potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi ancaman yang sangat nyata.