Dalam Sidang Sengketa PHPU, Ahli Khawatir Jika MK Hanya Adili Hasil Pemilu Akan Terjadi Keadilan Sesat

JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto mengungkapkan kekhawatirannya bila Mahkamah Konstitusi (MK) hanya bisa memeriksa dan mengadili hasil pemilihan umum. Menurutnya hal itu akan terjadi keadilan sesat yang jauh dari asas keadilan.

“Kekhawatirannya adalah terjadi keadilan sesat. Apabila dibangun legal reasoning bahwa cukup penyelesaian pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu dilakukan Bawaslu dan tertutup bagi cabang kekuasaan yudisial menjalankan peran check and balance, maka dalam perspektif electoral justice telah tercipta keadilan sesat yang jauh dari asas keadilan,” ujarnya saat dihadirkan sebagai saksi ahli Ganjar-Mahfud dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres, Selasa (2/4/2024).

Ia menjelaskan, dalam UU MK dan UU Pemilu ada penyempitan makna atau pereduksian frasa ‘tentang’ yang seharusnya berbunyi ‘memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum’. Frasa ‘tentang’ dalam UU Pemilu telah ditiadakan sehingga merujuk pada hasil perolehan suara. Sementara dalam UUD 45 frasa ‘tentang’ terkait wewenang MK memiliki makna yang luas dan komprehensif, termasuk memeriksa dan mengadili proses pemilihan umum.

“Ada penyempitan dan pereduksian arti kata ‘tentang’. ‘Tentang hasil’ berarti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hasil, baik hasilnya itu sendiri maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan hasil. Jadi tidak sebatas hasil itu sendiri, hal-hal yang berhubungan dengan hasil adalah termasuk proses yang membuahkan hasil tersebut,” jelasnya.

Menurut ahli, sesuai penalaran hukum yang wajar kita kembali ke makna sesuai ketentuan UUD 45, MK harus memeriksa dan mengadili perselisihan antara peserta pemilu dengan KPU. Hal itu mengenai proses perolehan jumlah suara dan hasil perolehan suara peserta pemilihan umum secara nasional.

“Menurut ahli adalah Mahkamah memeriksa dan mengadili proses memperoleh suara dari adanya pelanggaran yang belum, tidak dapat atau tidak ingin diselesaikan oleh penyelenggara pemilu. Ada dua pelanggaran, pelanggaran yang tidak dapat ditolerir, dan atau pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif,” ucap Aan.

Lebih lanjut, bila MK hanya sekadar mengadili hasil pemilu, hal itu dinilai hanya akan menunda keadilan atau justice delay and justice deny. Ia mengungkapkan MK memutuskan perkara berdasarkan UU sesuai alat bukti dan keyakinan hakim.

“Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan prosedural memasung dan mengesampingkan keadilan substantif bila hanya memutus hasil maka peserta pemilu yang melakukan pelanggaran seberat-beratnya dan menang tidak akan dihukum,” kata dia.


Eksplorasi konten lain dari Cinews.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *