Hukum  

Wamenkum Sebut Ada Tiga Sisi Utama Paradigma Hukum Pidana Modern

Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej.

JAKARTA, Cinews.id – Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, Hukum di Indonesia akan memasuki era baru, dimana hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak lagi berfokus pada hukuman berat kepada pelaku, namun pada pemulihan, perbaikan, dan reintegrasi sosial.

“KUHP tidak lagi menempatkan hukum pidana sebagai sarana balas dendam, tetapi menempatkan hukum pidana dengan tiga sisi utama yang menjadi paradigma hukum pidana modern yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif,”kata Pria yang kerap disapa Eddy  dalam keterangannya pada Sabtu (1/2/2025).

Eddy menjelaskan bahwa yang menjadi target utama dalam sosialisasi KUHP adalah para penegak hukum selanjutnya masyarakat luas. Dikatakan bahwa masyarakat termasuk dirinya, sering kali masih terpengaruh oleh paradigma lama yang cenderung menghukum pelaku kejahatan dengan seberat-beratnya.

“Saya pribadi pun kalau lihat ada pelaku kejahatan ditangkap, pasti yang ada di dalam benak itu dia bisa dihukum seberat-beratnya, apalagi kalau kita korban. Itu paradigma yang kuno, paradigma zaman Hammurabi,” imbuhnya.

Kendati demikian, dengan diterapkannya prinsip-prinsip baru dalam hukum pidana, Indonesia berusaha menggantikan paradigma lama dengan KUHP Nasional. Salah satu perubahan signifikan dalam undang-undang ini adalah adanya penekanan terhadap keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.

“Prinsip-prinsip ini akan membawa perubahan besar dalam sistem hukum pidana Indonesia karena dengan paradigma hukum pidana yang baru ini, kita tidak lagi hanya melihat hukum pidana sebagai alat balas dendam,” ucapnya.

Eddy menjelaskan bahwa prinsip pertama yakni keadilan korektif, bertujuan untuk mengoreksi perilaku pelaku kejahatan melalui sanksi yang tidak selalu berupa hukuman pidana berat. Selain hukuman penjara, sanksi administratif juga bisa diberlakukan sesuai dengan konteks pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.

“Keadaan korektif itu ditujukan kepada pelaku, artinya saat berbuat salah maka ada yang harus dikoreksi dengan mendapatkan sanksi. Tetapi sanksi di dalam KUHP baru jangan dibayangkan harus sanksi pidana, tetapi sanksi itu ada dua yaitu sanksi pidana dan tindakan,” tukasnya.

Visi kedua yang diperkenalkan dalam KUHP adalah keadilan restoratif. Eddy mengungkapkan prinsip ini berfokus pada pemulihan bagi korban, bukan hanya pada penghukuman pelaku.

“Dan dari sisi ilmu pengetahuan, keadilan restoratif itu masih sesuatu hal yang baru. “Keadilan restoratif bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi untuk memperbaiki kerusakan sosial yang terjadi akibat tindak pidana,” lanjutnya.

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menuturkan bahwa visi tersebut merupakan kritik terhadap hukum pidana konvensional yang seringkali hanya fokus pada penghukuman pelaku tanpa memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkan pada korban.

Lebih lanjut, Eddy menceritakan konsep restorative justice atau keadilan restoratif yang pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eklas pada tahun 1977. Dikatakan bahwa keadilan restoratif bertujuan untuk mengembalikan keadaan korban ke posisi semula dan memperbaiki hubungan yang rusak dalam masyarakat akibat tindak pidana.

“Lalu hadirlah paradigma hukum pidana dengan mengutamakan kehadiran restoratif atau memulihkan keadilan dan mengembalikan tatanan masyarakat yang kacau dan rusak, serta terganggu akibat perilaku menyimpang. Jadi hukum pidana itu harus mengembalikan kepada keadaan semula, tidak hanya mengoreksi pelaku tapi juga memperbaiki kondisi korban,” tuturnya.

Sementara itu, pada visi ketiga yakni keadilan rehabilitatif, Eddy menjelaskan bahwa ini berfokus pada perbaikan baik bagi pelaku maupun korban. Dikatakan bahwa pelaku tidak hanya dikoreksi dan dihukum, tetapi juga diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

“Pelaku tidak hanya dikoreksi dan dihukum, tetapi juga diperbaiki. Demikian juga dengan korban tidak hanya dipulihkan tetapi juga diperbaiki. Jadi mereka harus diberikan dukungan psikologis dan sosial untuk dapat kembali ke masyarakat dengan lebih baik,” ungkapnya.

Menurut Eddy, meskipun perubahan besar ini membutuhkan waktu untuk dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat, namun sistem hukum pidana yang baru akan membawa Indonesia menuju keadilan yang lebih berkelanjutan dan komprehensif.

“Ini adalah perubahan besar dalam cara kita memandang hukum pidana. Ke depan, sistem hukum Indonesia diharapkan akan lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih berfokus pada keadilan yang melibatkan semua pihak, baik pelaku maupun korban,” tuturnya.

Selain itu, dengan prinsip keadilan yang lebih berfokus pada pemulihan, perbaikan, dan reintegrasi sosial, diharapkan masyarakat Indonesia bisa lebih memahami dan menerima perubahan ini, serta melihat hukum tidak hanya sebagai alat untuk menghukum, tetapi juga sebagai sarana untuk memperbaiki dan memulihkan.