LAMPUNG, Cinews.id – Pemerintah memberlakukan kebijakan larangan penjualan LPG 3 kilogram (Kg) melalui pengecer per 1 Februari 2025, yang bertujuan untuk meningkatkan distribusi yang lebih tepat sasaran, menekan potensi penyimpangan, dan memastikan pengendalian harga di masyarakat.
Diketahui, LPG 3 kg selama ini telah menjadi kebutuhan esensial bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini terbiasa membeli di pengecer karena faktor kedekatan dan fleksibilitas, namun kini harus menghadapi kenyataan bahwa hanya bisa memperoleh gas melalui pangkalan resmi.
Dengan kata lain, ada perubahan sistem distribusi yang signifikan, yang kemungkinan besar akan menyulitkan masyarakat kecil, terutama mereka yang tinggal jauh dari pangkalan resmi.
Namun di lain sisi, Masyarakat pun kini harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkannya dan hal ini tentunya akan menambah ongkos logistik, baik dalam bentuk biaya transportasi maupun, waktu yang lebih lama untuk mendapatkan gas.
Jika diperhitungkan, biaya tambahan rata-rata berkisar antara Rp5.000 hingga Rp15.000 per tabung, sehingga harga LPG 3 kg yang semula berkisar antara Rp18.500 hingga Rp23.000 per tabung kini menjadi Rp25.000 hingga Rp38.000 per tabung, tergantung pada jarak tempuh daerahnya.
Bagi masyarakat yang bekerja harian atau memiliki penghasilan pas-pasan, pengeluaran tambahan ini justru akan semakin membebani kehidupan mereka.
Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan tujuan utama kebijakan ini, yaitu untuk memastikan LPG 3 kg hanya sampai kepada mereka yang benar-benar berhak menerima subsidi.
Namun kenyataan di lapangan sering kali berbeda dari perencanaan yang dibuat di atas kertas. Masyarakat yang tidak memiliki akses ke pangkalan resmi mungkin akan mengalami kesulitan mendapatkan gas dengan harga yang wajar.
Akibatnya, justru bisa terjadi muncul pasar gelap atau jalur distribusi tidak resmi yang menawarkan LPG dengan harga lebih tinggi karena kelangkaan di tingkat masyarakat bawah.
Bahkan hal itu berpotensi menciptakan monopoli distribusi di tangan pangkalan resmi, sementara masyarakat kecil yang selama ini mengandalkan pengecer akan kehilangan fleksibilitas dalam mendapatkan gas bersubsidi.
Hal itu lantaran mereka akan dipaksa mengikuti aturan yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan kenyataan di lapangan.
Jika dikaji lebih jauh, kebijakan pemerintah yang melarang pengecer mendistribusikan LPG 3 kg berdampak lebih luas dari sekadar penyesuaian distribusi.
Larangan ini bukan hanya membatasi akses masyarakat kecil terhadap LPG bersubsidi, tetapi juga meningkatkan biaya logistik yang pada akhirnya berkontribusi langsung terhadap inflasi nasional.
Karena dengan meningkatnya ongkos transportasi dan aksesibilitas yang terbatas, harga LPG melonjak, dan pelaku UMKM harus menanggung beban tambahan dalam operasional mereka. Dan Biaya tambahan ini pada akhirnya ditransfer ke harga jual produk dan jasa mereka, yang secara langsung berdampak pada harga-harga kebutuhan pokok di masyarakat.
Selain itu, ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan LPG 3 kg dengan harga yang terjangkau juga meningkatkan tekanan terhadap daya beli mereka.
Kondisi ini mengurangi kapasitas konsumsi rumah tangga, memperlambat pertumbuhan ekonomi sektor mikro, dan menambah tekanan inflasi yang sudah tinggi akibat faktor eksternal lainnya.
Sebelumnya, Pemerintah beralasan bahwa pembatasan distribusi ini akan membantu mengendalikan harga dan mencegah penyimpangan. Namun, realitanya, jika akses masyarakat terhadap LPG 3 kg menjadi lebih terbatas, harga di lapangan bisa semakin tidak terkendali.
Padahal, jika pangkalan resmi tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jumlah yang cukup, maka akan terjadi peningkatan permintaan yang tidak seimbang dengan pasokan yang tersedia. Hal ini akan memberikan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memainkan harga.
Selain itu, kebijakan ini juga bisa menyebabkan munculnya spekulan yang akan memanfaatkan kelangkaan di tingkat masyarakat bawah untuk menjual LPG dengan harga lebih tinggi dari yang seharusnya.
Akibatnya, masyarakat yang justru seharusnya mendapat subsidi akan tetap menghadapi harga yang mahal, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan saat mereka masih bisa membelinya dari pengecer.
Masyarakat berharap Pemerintah mendengar keluhan dari masyarakat dan selalu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dibuat.