DENPASAR, cinews.id – Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Provinsi Bali Pramella Yunidar Pasaribu mengatakan, pihaknya mendeportasi secara bertahap sebanyak 103 warga Taiwan yang terlibat kasus penipuan daring dan menyalahi izin tinggal.
“Kami deportasi secara bertahap. Sebelumnya lima dan lanjut 11 orang lagi yang dideportasi,” katanya di Denpasar, Senin (1/7/2024).
Ada pun gelombang pertama deportasi ratusan warga Taiwan itu dilakukan pada Jumat (28/6/2024) sebanyak lima orang dan pada Ahad (30/6/2024) sebanyak 11 orang atau total baru ada 16 orang dari 103 orang asing itu.
Menurutnya, Deportasi menyeluruh diperkirakan dilakukan hingga seluruh warga asing itu menyanggupi untuk membeli tiket kepulangan atau dibantu oleh perwakilan warga tersebut di Indonesia.
“Mereka dideportasi melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali menuju langsung ke Taipei, Taiwan,”jelasnya.
Selain diusir meninggalkan wilayah Indonesia, ia memastikan 103 warga asing itu juga diusulkan masuk daftar penangkalan memasuki wilayah Indonesia.
Sementara itu, Pelaksana Harian Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar Gustaviano Napitupulu menjelaskan mereka dapat dicegah masuk Indonesia paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan sesuai pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Selain itu, keputusan penangkalan seumur hidup dapat diberikan apabila dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
“Penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” katanya.
Sebelumnya, sebanyak 103 warga asal Taiwan itu ditangkap dalam operasi intelijen keimigrasian “Bali Becik” bersama aparat gabungan pada Rabu (26/6) di salah satu vila mewah di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan.
Mereka kemudian ditahan sementara di Rudenim Denpasar, menunggu proses deportasi.
Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi Saffar Muhammad Godam mengaku pihaknya tidak menemukan unsur pidana dalam penangkapan mereka sehingga tidak bisa dinaikkan ke tahap penyidikan.
“Mereka melakukan kegiatan di Indonesia tapi korban ada di negara lain sehingga sulit sekali untuk terpenuhi unsur pidana hal seperti ini,” imbuhnya.
Ia menyebut aksi penipuan daring menyasar korban di Malaysia merupakan pola kejahatan lintas negara.
Eksplorasi konten lain dari Cinews.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.